Sabtu, 13 Juli 2013

perjalanan singkat




            “ masih inget status FB kamu semalam?yang itu mengerikan”ujar Damar sambil fokus memperhatikan jalan di depannya.
            “yang mana?kayaknya nggak ada yang salah sama yang aku tulis?”aku menjawab dengan nada bertanya-tanya. Sepertinya dia menangkap sebuah kesalahan dari apa yang ku tulis dalam jejaring sosial semalam.
            “kamu belum banyak berubah dari kamu waktu pertama di sini. Sudah bukan waktunya lagi kita mengumbar emosi. Apa yang kamu tulis semalam itu dibaca oleh banyak orang, bukan hanya kamu dan orang yang kamu maksut” jelasnya panjang lebar sambil masih berkonsentrasi mengemudikan motor bututnya.
            “status apa?ini pasti masalah Nanda? Biar saja, terkadang aku kesal mendengar dia yang selalu mengomentari setiap karya yang dilihatnya. Tujuannya baik, tapi dia sendiri bahkan tak ada niatan untuk....i guess you know what i mean?” aku rasanya seperti sudah mau meledak menjawap pernyataan Damar.
            “tenanglah! Kamu memang masih seperti anak kecil. Kalian ini sama saja nggak berubah dari awal aku ketemu kalian” kata Damar sepertinya ingin menyudahi topik di malam itu.
            “mungkin kamu benar, tapi terkadang ini nggak adil, padahal kita ada di tempat yang sama” aku masih menjawab pernyataan terakhir Damar malam itu.
            Mungkin kala itu aku terlalu emosi menanggapi pendapatnya atau mungkin memang aku belum cukup dewasa untuk menerima kritik dari orang lain, yang sebenarnya dia adalah sahabatku sendiri. Memang tidak sepantasnya seorang sahabat menghujat sahabatnya sendiri. Entahlah, mungkin memang aku yang seperti anak kecil seperti ujar Damar.
Setelah perbincangan itu, kami membisu cukup lama selama perjalanan. Sampai ketika kami tiba di Klaten, Damar membuka percakapan diantara kami. Percakapan yang lebih ringan namun masih membuatku berkelana dalam rasa bersalah yang sangat pada sahabatku Nanda.
“masih mikirin yang tadi?”ucap Damar dengan santai.
“nggak. Nggak salah maksutnya” jawabku dalam hati
“masih marah? Anggap itu saran Fa! Dia masih berusaha membuka percakapan baru dan memecah kebisuan diantara kami.
“aku tahu, saran diterima kakak...” aku mencoba lebih ceria, menghibur diri sendiri.
“bentar lagi kita udah sampai Yogya. Kita udah nglewatin Prambanan”
“ya, rasanya pantatku udah kebakar” ujarku bombastis
“kau ini selalu berlebihan, seperti...”Damar tak melanjutkan kalimatnya
“seperti emosiku yang juga selalu tak terkontrol. Bombastis” aku menjawabnya masih dengan geliat tawa.
“semua itu memang butuh proses, tergantung niat kita yang bisa membuatnya lebih cepat atau lebih lambat”
Kalimat yang terakhir itu yang membuatku makin tenggelam dalam perasaan yang tidak karuan. Aku memang terlalu kekanak-kanakan menanggapi sebuah permasalahan dan terlalu egois mementingkan keberadaan diri sendiri. Aku tak ingin selamanya seperti ini. Ada sahabar-sahabat hebat di sampingku, dan harusnya aku juga bisa mengimbangi mereka, bukannya terus bergantung pada mereka atau berlindung dibalik punggung mereka.
Malam masih masih bersahabat, angin pun tak menunjukkan gerak gerik untuk melawan kami yang sedang berkendara. Masih di jalan raya yang ramai dengan kendaraan pribadi, motor-motor yang saling mendahului, bis antar kota dan propinsi yang saling berebut jalan, truk barang yang besarnya seperti raksasa dan tentu saja kami yang berusaha memacu gas agar tidak telat sampai di Galeri Jogja.
Ini kali ke dua ku berkunjung ke Galeri Jogja untuk menonton sebuah pameran lukisan. Kali ini bersama sahabatku Damar, pria mungil tanpa rambut yang membuatku mangkat dari kemalasan. Sayang sekali sahabatku Nanda tidsk bisa ikut kali ini. Perempuan berhijab yang walau sedikit arogan namun dia memiliki tingkat kedewasaan yang mampu meredam amarahnya ketika menghadapiku. Nanda lah orang yang selalu menguatkan ketika aku terhimpit permasalahan. Tak ada masalah diantara kami. Hanya saja hatiku yang sedang kacau memikirkan kejadian yang sudah berlalu dan mungkin sudah tak terpikirkan olehnya.
 Malam itu, sebuah perjalanan singkat yang menyadarkanku. Menyadarkanku bahwa tak ada yang lebih indah dari memelihara sebuah persahabatan. Terkadang kita lupa bahwa mereka yang berada di samping kita kala masalah dan suka silih berganti. Terkadang hanya karena ketidak sepahaman, kita bahkan tega menghujat sahabat kita dari belakang. Perilaku macam itu? Bukan, itu hanya emosi sesaat yang tak bisa dibendung. Dan sudah seharusnya aku memelihara kasih ini seperti aku menjaga ragaku sendiri. Harusnya aku  menahan diri dan membangun fondasi yang kuat agar persahabatan ini tak berujung pahit.(Fadjar Hidayah)