“
masih inget status FB kamu semalam?yang itu mengerikan”ujar Damar sambil fokus
memperhatikan jalan di depannya.
“yang
mana?kayaknya nggak ada yang salah sama yang aku tulis?”aku menjawab dengan
nada bertanya-tanya. Sepertinya dia menangkap sebuah kesalahan dari apa yang ku
tulis dalam jejaring sosial semalam.
“kamu
belum banyak berubah dari kamu waktu pertama di sini. Sudah bukan waktunya lagi
kita mengumbar emosi. Apa yang kamu tulis semalam itu dibaca oleh banyak orang,
bukan hanya kamu dan orang yang kamu maksut” jelasnya panjang lebar sambil
masih berkonsentrasi mengemudikan motor bututnya.
“status
apa?ini pasti masalah Nanda? Biar saja, terkadang aku kesal mendengar dia yang
selalu mengomentari setiap karya yang dilihatnya. Tujuannya baik, tapi dia
sendiri bahkan tak ada niatan untuk....i guess you know what i mean?” aku
rasanya seperti sudah mau meledak menjawap pernyataan Damar.
“tenanglah!
Kamu memang masih seperti anak kecil. Kalian ini sama saja nggak berubah dari
awal aku ketemu kalian” kata Damar sepertinya ingin menyudahi topik di malam
itu.
“mungkin
kamu benar, tapi terkadang ini nggak adil, padahal kita ada di tempat yang
sama” aku masih menjawab pernyataan terakhir Damar malam itu.
Mungkin
kala itu aku terlalu emosi menanggapi pendapatnya atau mungkin memang aku belum
cukup dewasa untuk menerima kritik dari orang lain, yang sebenarnya dia adalah
sahabatku sendiri. Memang tidak sepantasnya seorang sahabat menghujat
sahabatnya sendiri. Entahlah, mungkin memang aku yang seperti anak kecil
seperti ujar Damar.
Setelah perbincangan itu, kami
membisu cukup lama selama perjalanan. Sampai ketika kami tiba di Klaten, Damar
membuka percakapan diantara kami. Percakapan yang lebih ringan namun masih
membuatku berkelana dalam rasa bersalah yang sangat pada sahabatku Nanda.
“masih mikirin yang tadi?”ucap
Damar dengan santai.
“nggak. Nggak salah maksutnya”
jawabku dalam hati
“masih marah? Anggap itu saran
Fa! Dia masih berusaha membuka percakapan baru dan memecah kebisuan diantara
kami.
“aku tahu, saran diterima
kakak...” aku mencoba lebih ceria, menghibur diri sendiri.
“bentar lagi kita udah sampai
Yogya. Kita udah nglewatin Prambanan”
“ya, rasanya pantatku udah
kebakar” ujarku bombastis
“kau ini selalu berlebihan,
seperti...”Damar tak melanjutkan kalimatnya
“seperti emosiku yang juga
selalu tak terkontrol. Bombastis” aku menjawabnya masih dengan geliat tawa.
“semua itu memang butuh
proses, tergantung niat kita yang bisa membuatnya lebih cepat atau lebih
lambat”
Kalimat yang terakhir itu yang
membuatku makin tenggelam dalam perasaan yang tidak karuan. Aku memang terlalu
kekanak-kanakan menanggapi sebuah permasalahan dan terlalu egois mementingkan
keberadaan diri sendiri. Aku tak ingin selamanya seperti ini. Ada
sahabar-sahabat hebat di sampingku, dan harusnya aku juga bisa mengimbangi
mereka, bukannya terus bergantung pada mereka atau berlindung dibalik punggung
mereka.
Malam masih masih bersahabat,
angin pun tak menunjukkan gerak gerik untuk melawan kami yang sedang
berkendara. Masih di jalan raya yang ramai dengan kendaraan pribadi,
motor-motor yang saling mendahului, bis antar kota dan propinsi yang saling
berebut jalan, truk barang yang besarnya seperti raksasa dan tentu saja kami
yang berusaha memacu gas agar tidak telat sampai di Galeri Jogja.
Ini kali ke dua ku berkunjung
ke Galeri Jogja untuk menonton sebuah pameran lukisan. Kali ini bersama
sahabatku Damar, pria mungil tanpa rambut yang membuatku mangkat dari
kemalasan. Sayang sekali sahabatku Nanda tidsk bisa ikut kali ini. Perempuan
berhijab yang walau sedikit arogan namun dia memiliki tingkat kedewasaan yang
mampu meredam amarahnya ketika menghadapiku. Nanda lah orang yang selalu
menguatkan ketika aku terhimpit permasalahan. Tak ada masalah diantara kami.
Hanya saja hatiku yang sedang kacau memikirkan kejadian yang sudah berlalu dan
mungkin sudah tak terpikirkan olehnya.
Malam itu, sebuah perjalanan singkat yang
menyadarkanku. Menyadarkanku bahwa tak ada yang lebih indah dari memelihara
sebuah persahabatan. Terkadang kita lupa bahwa mereka yang berada di samping
kita kala masalah dan suka silih berganti. Terkadang hanya karena ketidak
sepahaman, kita bahkan tega menghujat sahabat kita dari belakang. Perilaku
macam itu? Bukan, itu hanya emosi sesaat yang tak bisa dibendung. Dan sudah
seharusnya aku memelihara kasih ini seperti aku menjaga ragaku sendiri.
Harusnya aku menahan diri dan membangun
fondasi yang kuat agar persahabatan ini tak berujung pahit.(Fadjar Hidayah)