Rabu, 16 Oktober 2013

Herlambang Bayu Aji


Wayang Rajakaya
"lahir di Solo dan Berkembang di Berlin"

Seorang pria tinggi besar tengah duduk bersila di samping monitor dan didampingi oleh seorang wanita barat dengan kamera di tangannya. Di dalam ruangan yang tak begitu luas itu pula duduk  beberapa orang yang tengah serius mendengarkan apa yang pria itu sampaikan. Muncul guyonan di sela-sela perbincangan malam itu. Sosoknya yang humoris mulai melebur dengan orang-orang yang duduk dihadapannya.
Demikianlah gambaran suasana malam itu. 5 Agustus 2013 di Tugitu Space tengah berlangsung diskusi seni rupa yang mengundang Herlambang Bayu Aji. Pria yang akrap disapa Bayu ini adalah seorang perupa sekaligus dalang. Dalang yang memainkan tokoh-tokoh yang dibuatnya sendiri. Wayang Rajakaya adalah karyanya yang sudah membawanya sampai ke benua Eropa khususnya di negara Jerman.
Wayang Rajakaya pertama kali diciptakan tahun 2005. rajakaya sendiri diambil dari bahasa Jawa yang artinya binatang ternak. Dalam masyarakat Jawa kuno binatang ternak sendiri dianggap sebagai investasi. Hal ini dikarenakan jaman dulu masih belum ada investasi berupa tabungan, barang elektronik dan lain sebagainya. Cerita yang diangkat dalam pertunjukan menggunakan cerita binatang (fabel) dan tokoh-tokohnya sendiri juga berupa binatang.
Kombinasi dari wayang kancil dan wayang purwa yang menghasilkan jenis wayang baru. Dimana wayang kancil menggunakan figur-fugur binatang dan mengangkat cerita binatang namun masih dengan tampilan realis. Sementara wayang Rajakaya anak wayangnya sudah memiliki kesamaan dengan wayang Purwa. Binatang-binatang sudah berdiri dengan dua kaki serta tampilan simbolik dan dekoratif.         
Eksplorasi seni rupa ini tercetus ketika Bayu menggarap Tugas Akhir S1-nya di Prodi Seni Lukis, jurusan Seni RupaMurni, fakultas Seni Rupa dan Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS). Ketika itu Bayu sedang beristirahat di ruangannya. Memandang lukisan-lukisan yang terpajang di dinding ruangan itu. Terbayang olehnya bahwa lukisan itu memiliki figur. Entah berupa manusia, robot atau binatang. Ketika figur-figur lukisan itu keluar dari bidang kanvas, figur itu akan lebih banyak bercerita. Berawal dari situlah Bayu mulai menggarap Wayang Rajakaya sebagai karya tugas akhirnya.
            Ada maksud apa dibalik Wayang Rajakaya? “Membuat bentuk baru yang berbeda dan sesuai dengan keinginan kita” jawabnya malam itu. Seperti mengembalikan pengertian seni yang merupakan ekspresi jiwa. Penciptaan tokoh dengan bentuk seperti itu tidak serta merta dibuatnya dengan instan. Berawal dari kegemarannya menonton pertunjukan wayang, entah itu wayang purwa, wayang orang, wayang kancil maupun wayang golek. Selain itu sebelumnya lukisan Bayu juga berlatar belakang wayang purwa.
Wayang Rajakaya yang merupakan wayang kontemporer yang masih mengusung unsur tradisi di dalamnya. Ornamen lokal sebagai dekoratif dan cerita daerah yang telah dimodivikasi sedemikian rupa sebagai cerita yang dipertunjukkan. Musik yang mengiringinya sendiri merupakan gabungan dari alat musik modern dan tradisional. Mempelajari unsur-unsur lokal dan kemudian mengembangkannya menjadi sesuatu yang baru tanpa meninggalkan kelokalan tersebut. Melalui proses itulah Rajakaya menemukan jati dirinya dan dari jati diri itulah rajakaya bisa menglobal dengan cover lokalnya.
Bagaimana Rajakaya bisa sampai di Berlin dan beberapa negara di Eropa? Dari tahun 2002 sampai 2005 Bayu aktif dalam International Youth Converence (IYC) yang merupakan komunitas pemuda-pemuda dari berbagai negara. Dalam komunitas tersebut ada serangkaian kegiatan seperti seminar, diskusi , workshop dan pameran seni rupa. Dari situlah Bayu mampu menjalin jaringan kerja dengan seniman-seniman dari berbagai negara termasuk Eropa.
Tidak hanya menggelar pertunjukan wayang Rajakaya saja, Bayu juga masih aktif dalam kegiatan pameran selama menetap di Berlin-Jerman. Meskipun kendala bahan dan perlengkapan tak menghalangi kreatifitasnya untuk terus berkarya. “ Mempelajari lokalitas dan mengembangkannya untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda,  menciptakan keberagaman wayang dari yang sudah ada. Kelokalan  itu yang menimbulkan jati diri kita di negeri orang dan membuat kita diterima oleh dunia”(fajar hidayah)

Paes ”Simbol Kecantikan Wanita Jawa”




Keberagaman suku di Indonesia memunculkan berbagai keberagaman budaya. Termasuk upacara adat, khususnya pernikahan. Pernikahan sendiri merupakan peristiwa sakral yang dianggap bersejarah bagi sebagian besar manusia. Dalam hal ini bukan upacara pernikahan  yang akan dibahas, tapi riasan pada pengantin wanita suku Jawa.
Jawa yang merupakan suku raksasa ini memiliki banyak ragam riasan pengantin. Kali ini saya akan mengulas tentang rias pengantin dari Surakarta. Mari kita kerucutkan riasan menjadi bagian dari riasan pengantin. Ada bagian dari sosok nan ayu calon mempelai wanita dalam anggunnya balutan kain batik yang membuat saya tertarik. Warna hitam pada dahi pengantin wanita atau yang akrap disebut paes.
Paes adalah bentuk riasan pengantin wanita yang bertujuan untuk mempercantik diri. Tujuan paes adalah untuk membuang hal-hal buruk dan menjadikan pengantin  menjadi manusia solehah dan dewasa. Karena itu paes menurut orang jawa adalah simbol kecantikan wanita dan juga penanda kedewasaan.
Paes atau paesan memiliki empat bagian. Bagian pertama adalah lengkungan di tengah dahi yang disebut penunggul atau gajahanPenunggul mengandung arti  sesuatu yang baik atau sesuatu yang besar. Harapan seorang wanita yang dihormati dan ditinggikan derajatnya. Selain itu penunggul juga merupakan do’a agar pasangan pengantin bisa menjadi pasangan yang sempurna dalam membina rumah tangga.
Bagian ke dua adalah pengapit. Bentuk diantara penunggul dan penitis. Pengapit atau pendamping ini memiliki dua bagian, pengapit kiri dan kanan. Pengapit mengandung makna sebagai pendamping yang mengontrol gajahan/ penunggul. Sekalipun sudah menjadi manusia sempurna jika terpengaruh pendamping kiri maka akan sesat juga. Karena itu pendamping kanan hadir sebagai pengingat agar tetap teguh dan kuat dalam menjalani kehidupan.
Selanjutnya adalah penitis, bentuk yang berada di atas godheg. Penitis (dalam bahasa  Jawa dari= titis)memiliki makna sebagai harapan agar pengantin mencapai tujuan yang tepat selain itu penitis merupakan simbol kearifan. Untuk pengantin wanita sendiri penitis adalah harapan agar menjadi wanita yang bertindak tepat dalam mengurus rumah tangga.
Godheg adalah bagian terakhir paes yang memperindah cambang. Bentuknya yang melengkung ke belakang memberi arti bahwa manusia harus sadar dari mana asal usulnya. Manusia diharapkan sempurna, dan syaratnya adalah dengan membelakangi keduniawian. Dari sumber lain godheg merupakan harapan kedua mempelai agar tidak gegabah dan terburu-buru dalam melangkah dan mengambil keptusan.
Selain bagian-bagian paes yang mempercantik pengantin wanita, bentuk lengkungan paes juga mengundang ketertarikan. Kenapa bentuk paes cenderung lengkung dan arahnya ke bawah. Hal tersebut dimaknai sebagai seorang wanita/ istri harus memiliki sifat yang lembut dan senantiasa merunduk atau temungkul. Dengan sifat lembut dan rendah hati akan tercipta wanita yang berbudi luhur kang utomo.
Seperti halnya falsafah Jawa, segala sesuatu yang dilakukan manusia adalah do’a dan bentuk ibadah kepada sang pencipta. Sama halnya dengan simbol dan harapan yang tertuang dalam paes riasan pengantin wanita Jawa. Warna hitam dan bentuk lengkungan itu pun merupakan do’a dan pengharapan yang baik atas pengantin yang akan membina sebuah kehidupan baru.
 

Referensi:
 Budi Sentosa, Iman. 2012. Spiritualisme Jawa. Yogyakarta: Memayung Publising
 Riefky, Tinuk. 2008. Kasatrian Ageng Selikuran dan Kasatrian Ageng. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
 Iaswedding.com
 http://mantenhouse.com/article/653-paes-ageng-riasan-pengantin-ala-keraton-yogyakarta-part-2.html
 http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/menguak-sejarah-tata-rias-dan-busana-paes-ageng-keraton-yogyakarta-dan-solo