Jakarta, 16
Maret 2014 sekelompok pemuda Solo menginjakkan kakinya di ibu kota. Hawa panas
dan dehidrasi yang meradang tak menjadi penghalang dalam sebuah pergerakan luar
biasa yang menjadi langkah pencapaian mereka. Setiap manusia tentunya memiliki
mimpi begitu pula dengan sekelompok pemuda yang menyebut namanya “Garis
Cakrawala” ini.
Sebelum
berkisah seputar kegitan “Garis Cakrawala” selama di Jakarta, mungkin diantara
kita ada yang belum tahu who is “Garis
Cakrawala”? Siapa saja yang tergabung di dalamnya? Dan mungkin akan banyak lagi
pertanyaan yang bermunculan. Agar tidak bertanya-tanya dikemudian hari dipersilahkan
“Garis Cakrawala” untuk memperkenalkan diri.
Siapa “Garis Cakrawala”?
“Garis
Cakrawala” merupakan komunitas seni rupa yang tumbuh dan berkembang di kota
Solo lebih mengerucut lagi kelompok ini tumbuh dari sebuah kampus mungil yang
dulu sempat digunakan sebagai proses perkuliahan jurusan seni rupa murni yang
sekarang akrap disapa Kepatihan Artspace.
Pertama kali dibentuk pada 16 Juli 2009 oleh sekelompok mahasiswa seni rupa murni
dari berbagai angkatan.
Pada awal
dibentuknya, komunitas ini menggunakan nama Cakrawala Fine Art Comunity dan anggotanya pun masih berskala kecil.
Perubahan nama dari Cakrawala Fine Art
Comunity ke “Garis Cakrawala” adalah langkah awal dari komunitas ini untuk
memulai pergerakan baru setelah beberapa waktu sempat fakum. Tujuannya sendiri
untuk memperkuat identitas, keunikan dan semangat pergerakan dari komunitas.
“Garis
Cakrawala” sendiri tidak membatasi siapa saja yang ingin bergabung di dalamnya.
Hal ini terlihat dalam beberapa pameran dan kegiatan berkesenian sebelumnya
yang juga melibatkan mahasiswa pertukaran pelajar asal Malaysia Arina Kiswanto
dalam pameran seni rupa di Galeri Pemuda Surabaya 2013 lalu dan seniman asal
Brazil Maximo Elizondo belum lagi mahasiswa di luar seni rupa murni yang turut bergabung
dalam komunitas ini. “Garis Cakrawala” pada akhirnya menjadi komunitas yang
heterogen. Sekalipun terbentuk dari berbagai karakter dan latar belakang
personal yang berbeda-beda, berdirinya sebuah komunitas maupun kelompok tetap
didasari pada semangat tujuan yang sama.
Selama masa
pertumbuhannya, “Garis Cakrawala” telah banyak melaukan berbagai kegiatan
berkesenian baik di kota kelahirannya sendiri maupun di luar kota. Pergerakan
mereka tidak memberi sekat pada kesenian di luar seni rupa walaupun fokus mereka memang lebih ke arah
itu. Dalam beberapa kesempatan komunitas ini juga tak segan-segan berkolaborasi
dengan kelompok teater, sastra bahkan musik.
Identitas dan
karakter. Tentuya setiap kelompok maupun komunitas memiliki karakter pembeda
dari komunitas lain. Dilihat dari karya-karya anggota komunitas dan
pergerakannya selama ini, “Garis Cakrawala” lebih bersifat pada gerakan komunal
dalam seni rupa kontemporer dan moderen. Gerakan tersebut sebenarnya tidak
terlepas dari kondisi Solo sendiri. Solo memang kota yang masih kuat mempertahankan
kesenian tradisinya. Seni tradisi memperoleh tempat yang lebih dari pada seni
kontemporer dan moderen. Kesenian tradisi sekalipun masih didominsi oleh seni
pertunjukan. Berangkat dari alsan itulah kounitas ini sekaligus ingin membuka
ruang-ruang baru untuk seni kotemporer dan moderen. Gerakan tersebut tidak ada
kaitannya dengan perlawanan terhadap seni tradisi, hanya ingin memberi warna
baru pada aktifitas kesenian kota Solo. “Walaupun arahya ke kontemporer dan moderen
aku ingin semua anggota di sini punya identitas sama karya mereka yaitu
identitas lokal. Bukan identitas yang membuat
karya mereka jauh dari tanah
kelahirannya dan menjadi identitas lain di luar mereka” kata Irul Hidayat
selaku ketua komunitas selepas ngobrol santai di depan galeri tempat “Garis
Cakrawala” menggelar pameran.
Dari Solo ke Jakarta
Sebuah
perjuangan yang bisa diteladani. Perjuangan yang entah bermodalkan nekat atau
mimpi yang kelewat batas bahkan sudah mulai akut. Yang jelas bukan hal yang
mudah bagi sekelompok pemuda ini untuk sampai di Jakarta dengan karya-karyanya
dan membawa nama baik kota kelahirannya.
Tentang
bagaimana proses “Garis Cakrawala” bisa sampai ke Jakarta tentu menjadi sangat
menarik untuk diketahui. Apakah memang hanya bermodal karya dan nekat yang
kelewat akut? Bisa jadi begitu, bisa jadi ada komponen lain yang struktural
untuk sampai ke Jakarta. Don’t judge book
from this cover kutipan ini yang harus diterapkan ketika berbicara tentang “Garis
Cakrawala”. Jangan hanya melihat dari tampilannya yang kumal, jangan lihat
rambut gondrong kusut yang terlihat jarang disisir, jangan lihat mata merah
mereka yang layu, jangan lihat kelakuannya yang selengekan dan jangan-jangan
yang lain. Karena dibalik itu semua tersimpan spirit komunal yang mampu
mengantarkan mereka pada gerbang kiprah kesenian (seniman). Satu hal penting
yang bisa dijadikan renungan. “Kampus tidak akan menjadikanmu seorang seniman
atau apa pun, kamu sendirilah yang mampu menjadikan dirimu akan jadi apa kamu”
dikutip dari Pak Rudi pria dengan rambut berwarna putih yang suka nongkrong di
toko buku Taman Ismail Marzuki.
Lantas
bagaimana proses “Garis Cakrawala” sampai bisa pameran di kampung halaman si
Pitung? Pergerakan mereka sudah dimulai dari setahun yang lalu. Menyiapkan
karya yang akan dipamerkan, menyusun proposal, menghubungi kurator untuk
mengkurasi karya-karya yang akan dipamekan sampai nyelengi buat bekal ke Jakarta.
Selain
mengajukan proposal agar bisa pameran di Taman Ismail Marzuki, pameran seni rupa komunitas “Garis Cakrawala”
ini juga merupakan hasil kerja sama dengan teman-tema IKJ. Support yang sangat
besar dari “Namanya Juga Anak Muda” komunitas mahasiswa IKJ yang sempat
berkegiatan di Solo pada liburan tahun baru kemarin.
Pengajuan
prosal mereka diterima sekitar enam bulan yang lalu, karena pameran disponsori
oleh pihak Taman Ismil Marzuki (TIM), segala keperluan mengenai penyelengaaan
pameran sudah menjadi tanggung jawab TIM dari mulai katalog, ketersediaan
galeri yang dipakai untuk display
karya, konsumsi pembukaan bahkan sampai petugas yang membantu kelancaran
pameran.
Melalui “Garis
Cakrawala” kita mampu memahami pentingnya sebuah kerja jaringan. Bukan sepintar
apa kamu di kampus, bukan seberapa banyak huruf A yang tercantum pada traskip
nilai, bukan seberapa banyak bertaya dalam kelas tapi seberapa aktifnya kamu
bergerak dan berhubungan dengan sesuatu yang ada di luar kamu. Ada istilah yang
cukup bagus “jangan hanya jadi si jago kandang”. Membangun kerja jaringan
sebanyak mungkin dan menjadi manusia sosial seperti kodratnya.
Tentang Pameran
Merespon
periode transisi kehidupan dari bebagai persoalan dan perubahan di Indonesia dalam
tataran sosiap, politik, ekonomi bahkan kebudayaan.(katalog Pancaroba Pancaroba;2014).
Bisa dibilang
pameran ini bersiat universal alias tidak ada tema yang mengerucut dan
spesifik. Walaupun demikian, mereka memiliki semangat juang yang sama dan
berjalan mengerucut menuju satu titik puncak yang sama.
Pancaroba
Pancaroba dipilih sebagai tema besar pameran mereka yang digelar di Galeri Cipta
II Taman Ismail Marzuki. Pancaroba merupakan masa transisi atau peralihan. Peralihan
seperti apa yang dimaksud? Peralihan dari anak bau kencur menuju baleq atau bagamana?
Pancaroba tentu tidak hanya sekedar perubahan
dari “Garis Cakrawala” secara personal, namun bagaimana mereka melihat
gejala-kejaa disekeliling mereka yang kian hari selalu mengalami perubahan dan
transisi. Perubahan dari kondisi lingkungan tempat mereka itu kemudian direspon
dalam penciptaan karya seni dengan melalui proses eksplorasi pribadi. Pancaroba
juga dimaknai sebagai sebuah proses perenungan “Garis Cakrawala” selama ini.
Perenungan terhadap apa yang pernah mereka jalani, pergolakan dari perubahan
yang terjadi dalam diri masing-masing anggota maupun “Garis Cakrawala” sendri.
Pergolaan yang penuh dengan eksplorasi, kegelisahan, poses kekaryaan bahkan
sampai hal yang mendasar yaitu pergolakan bagaimana besok berkarya, yang erat
kaitannya dengan ekonomi. Tema besar ini diharapkan mampu mewakili maksud dari
komunitas ini berpameran.
Pra Pameran Pancaroba Pancaroba
Dua hari
sebelum pameran dimulai, Garis Cakrawala sudah tiba di Jakarta untuk
mempesiapkan karya yang akan dipamerkan. Dua hari di Jakarta digunakan sebagai moment silaturahmi dengan teman-teman
IKJ sekaligus display karya. Selama
proses display karya, mereka ditemani
oleh kurator mereka yaitu Hendra Himawan.
Sepintas
memperkenalkan bahwa Hendra Himawan yang akrap disapa Hendra ini adalah kurator
independent dari Sukoharjo, Solo yang
menempuh pendidian S1 dan S2-nya di ISI Yogyakarta. Sebelum memutuskan untuk
menjadi kurator independent Hendra
sempat menjadi kurator tetap di Sangkring
Art Space selama dua tahun dan kurator TMT Street Art Room Yogyakarta. Selain berkarya melalui tulisan-tulisan
yang apik, hendra juga aktif dalam kegatan seni, salah satunya adalah sebagai
programer WASH (Weekly Art Sharing)
Yogyakarta.
Setelah
display selesai dilanjutkan dengan mural di lobby galeri. Mural ini digunakan
sebagai karya pembuka sebelum pengunjung atau apresiator memasuki ruang pamer.
Ketika ditanya mengenai maksud dari mural salah seorang anggota SAYAP
(Surakarta Young Artist Project) Rofiq menyatakan bahwa “mural ini menggambarkan
sebuah perjalanan yang kami lalui”.
Banyak figur yang berbeda-beda dalam satu kapal yang mengarungi lautan
menggambarkan keberagaman komunitas Garis Cakrawala dan SAYAP yang turut serta
dalam even ini, meski heterogen mereka bernaung dalam satu tempat yang sama
untuk mengarungi dan mencapai tujuan yang sama.
Malam Pembukaan Pameran
18
Maret 2014 tepatnya pukul tujuh lebih tiga puluh, galeri Cipta II TIM sudah
ramai didatangi beberapa pengunjung. Ada yang dari kalangan mahasiswa, dosen,
seniman bahkan masyarakat umum. Suasana yang agak berbeda dengan Solo. Jika
kegiatan kesenian seringnya jeruk nonton jeruk alias teman nonton teman, di
Jakarta apresiator yang datang lebih beragam. Mungkin karena lokasi yang
strategis juga ikut mempengaruhi. Lokasi TIM yang mudah untuk dijangkau dan
akses yang terbilang muda cukup untuk membuat massa berbondong datang ke sana.
Pembukaan
pameran makin riuh dengan sorak sorai mahasiswa IKJ , terlebih saat Irul
Hidayat memberikan sambutan selaku ketua panitia sekaligus ketua Komunitas.
Setelah itu disusul oleh Hendra Himawan yang memberi gambaran mengenai pameran
dan karya-karya yang sudah siap untuk diapresiasi.
Ketika
pintu galeri terbuka puluhan orang masuk berduyun-duyun memasuki galeri,
mengisi buku tamu, mengambil katalog pameran namun sebagian besar tak langsung
masuk ke ruang pamer tapi membelok sejenak menikmati beberapa hidangan kecil
yang disiapkan. Seperi ritual biasanya, makan dulu baru nonton.
Pembukaan
pameran dihadiri lebih dari seratus pengunjung, pengunjung yang datang pun
terlihat sangat antusias dalam mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan.
Bagaimana antusias apresiator trsebut?apa yang membuat pameran ini menarik?
Semua penilaiaan tersebut dapat dijawab
oleh pengunjung sekaligus apresiator karya. Tidak hanya dari kalangan seni rupa
saja bahkan masyarakat awam atau yang dari seni pertunjukan pun turut andil
dalam mengapresiasi karya-karya komunitas ini.
“Menarik
skali pameran ini, karya-karya yang ditampilkan cukup berkarakter semua dan
saya paling suka karya itu(sambil menunjuk karya “Ungodless” karya Indra
Kamesywara) karena senimannya berani menggunakan warna yang kuat dan itu
kesulitan dalam harmoni, namun senimannya mampu mengatasinya” kata pak Busron
seniman teater asal Surabaya yang lama menetap di Jakarta ketika menghadiri pembukaan
pameran.
Hiruk
pikuk para pengunjung sontak membuat seniman yang memiliki hajat sumringah dan
puas karena apresiator yang antusias menikmati karya-karya mereka. Bahkan salah
seorang apresiator yang kebetulan lewat dan awam dengan dunia seni juga turut
menikmati karya-karya yang dipamerkan.
“Karya-karyanya
keren, nggak cuma karya moderen aja yang ditampilkan tapi karya yang berbau
tradisi juga masih tetep ada. Jadi karya-karyanya komplit lah pameran ini.
Kalau ditanya tentang karya saya nggak begitu paham, tapi saya suka” kata Faris
salah seorang apresiator yang datang pada pameran Pancaroba Pancaroba.
Pembukaan
adalah primadona pameran, bagamana tidak, sebuah keasyikan yang berbeda dan unik.
“Baru kali ini datang ke acara pameran dan dihibur gerobak dangdut. Country banget rasanya” kata David salah
seorang anggota kelompok SAYAP yang kala itu
sedang ashik berjoged ria. Rasanya memang sangat seuatu sekali kalau
kata Syahrini. Sebuah pengalaman yang luar biasa dengan gerobak dangdut dan
semangat joged yang merayat.
Pembukaan
pameran boleh jadi primadona, tapi bukan berarti hari-hari berikutnya hanya
menjadi selir yang jarang dijamah, hari-hari berikutnya pameran tetap ramai
dikunjungi walau tanpa musik dangdut. Hampir tujuh puluh orang yang datang tiap
harinya setelah pembukaan pameran.
Moment yang
berkesan dan membuat anggota Garis Cakrawala dan SAYAP tertawa riang gembira
adalah ketika di suatu pagi yang sejuk rombongan malaikat kecil berseragam
merah putih berduyun-duyun menyerbu galeri dengan suara riuh yang lucu.
Bocah-bocah taman kanak-kanak yang dengan kepolosanya mengapresiasi lukisan
kakak-kakak seniman. Ada yang berkata “wah ada pak presiden, tapi kok mukanya
biri-biru?”ketia anak-anak sampai pada lukisan Irul Hidayat. Cukup lama anak-anak
dan guru yang mendampingi perjalanan tour
mereka berdiri di depan lukisan Irul Hidayat. Guru mencoba memperkenalkan presiden
republik ini dari mulai Soekarno sampai SBY yang dilukiskan dengan terang oleh
Irul. Beranjak dari lukisan presiden,
anak-anak itu berteriak histeris “WAH..LUCU!” ketika sampai pada lukisan Sonny
Hendrawan. Terlontar kritik polos yang jujur dari anak-anak itu. Apresiasi yang
berbeda dengan orang dewasa tentunya dan cukup menghibur komunitas ini untuk
semakin bersemangat menyusun projek selanjutnya.
Sebuah
warna baru memang, terutama untuk Solo. Banyak seniman dari Solo, entah dia setia
menetap di kota kelahiran maupun keluar dari Solo. Namun dari sekian banyak
seniman Solo, tak banyak atau mungkin malah belum ada yang bergerak dengan
semangat komunal atau berkomunitas untuk sukses bersama. Melalui pameran ini
kita bisa belajar tentang kebersamaan, semangat untuk bewrbagi dan sukses
bersama bukan hanya membawa diri sendiri.