Selasa, 25 Maret 2014

Beda Tapi Sama “Pertemuan dalam Pengulangan”


Jum’at, 21 Maret 2014 bertempat di galeri ISI Surakarta kampus II, telah berlangsung pembukaan pameran seni rupa yang diadakan oleh mahasiswa jurusan seni rupa murni. Pameran tersebut berlangsung selama tiga hari sampai tanggal 23 Maret.
Pameran yang mengangkat judul “Beda Tapi Sama” ini memamerkan sekitar enam puluh karya seni lukis dan dua karya instalasi. Pameran tersebut diikuti oleh sembilan mahasiswa mulai dari angkatan 2003 sampai 2011 yang sama-sama menempuh mata kuliah seni lukis karena keharusan untuk mengulang ketidak sempurnaan di semester yang lalu.
Awal tercetusnya gagasan untuk berpameran bersama ini dikarenakan seluruh anggota sama-sama mengulang mata kuliah seni lukis dan belajar bersama dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Hal tersebut adalah mmen yang jarang sekali terjadi, sekelompok mahasiswa dari angkatan tertua sampai 2011 belajar bersama karena alasan yang sama (mengulang mata kuliah yang tidak lulus).
Proses persiapan pameran sampai hari H sendiri tak banyak memakan waktu. untuk persiapan pameran sekitar satu  bulan sedangkan untuk proses penciptaan karya sendiri membutuhkan waktu empat bulan terhitung masa aktif perkuliahan. Semua karya yang dipamerkan merupakan buah eksplorasi selama menempuh mata kuliah seni lukis di semester ganjil kemarin.
Pameran Beda Tapi Sama tergolong sukses, terlihat dari banyaknya apresiator yang harir pada malam pembukaan dan hari-hari berikutnya. Antusias erhadap karya-karya-karya yang dipamerkan tentu juga memberi nilai plus pada pameran mahasiswa seni  rupa murni sendiri. Namun yang sering menjadi kendala memang lokasi ruang pamer yang masih sulit unukaksesnya dan tergolong kuang strategis.
“keren mbak pamerannya, kalau ada selebarannya sih pasti kita dateng, tapi kadang mau masuk ke Galeri nyampek gerbang depan sering ragu soalnya sepi banget” kata salah seorang pengunjung yang merupakan mahasiswi jurusan Etnomusikologi.

Kegiatan pameran merupakan sebuah ajang pmbuktian atau presentasi hasil kerja selama proses belajar. Karya-karya dipamerkan untuk diapresiasi dan dipublikasikan. Memalalui kegiatan pameran Beda Tapi Sama diharapkan mampu memoivasi mahasiswa-mahasiswa lain baik dari jurusan seni rupa murni maupun jurusan lain di  Fakulas Seni Rupa dan Desain demikian tutur Dra. Hj. Sunarmi, M.Hum ketika memberi sambutan sekaligus membukapameran.
doc. Fajar Hidayah

Senin, 24 Maret 2014

“Red Apple” Cinta atau Hasrat (Birahi)

Di Gedung Seni Rupa Murni pada lobby lantai satu dan dua  di samping kiri dan kanan tergantung karya-karya lukis dosen dan mahasiswa alumni. Ada yang bertemakan politik, sosial bahkan permasalahan pribadi dan paling mendasar ada pula karya yang abstrak dan tak bisa dibaca bentuknya. Karya-karya itu hadir dengan membawa sekumpulan simbol dan pesan yang dikomposisikan dalam sebuah ruang (kanvas).
Salah satu karya yang mengusik perhatian dari sekian banyak karya yang tergantung di dinding lobby itu adalah sebuah lukisan berukuran 200x150 cm bermediakan cat minyak di atas kanvas karya Arisno Efendi yang berjudul Red Apple.
Saya akan coba memberi gambaran tentang lukisan Red Apple karya Arisno Efendi. Tiga apel merah segar dengan butir-butir air yang menggairahkan berjajar rapi seolah berbaris, namun disususun dengan irama yang menarik dengan komposisi semakin mengecil ke belakang menjadi interest pertama saat mengapresiasi karya Arisno. Namun bukan apel yang membuat karya ini menarik, aneka bentuk yang dimunculkan Arisno dalam bentuk apel itu membuatnya menjadi surealis. Apel pertama, apel dengan ukuran paling besar yang diposisikan di depan dengan bentuk bibir-bibir merah merekah dan bentuk dua hati yang terbentuk dari hasil kilauan apel, serta asap yang menyerupai bentuk tengkorak yang muncul dari batang apel. Apel berbentuk sedang yang berada di samping belakang apel besar masih dengan batang yang memunculkan asap namun tanpa wujud tengkorak serta dari permukaan apel dihadirkan wajah manusia dengan mata terpejam. Apel terakhir dan terkecil pada posisi paling belakang digambarkan tetap murni dengan kesegarannya tanpa menambahkan bentuk apapun pada permukaan apel namun masih dengan batang yang terbakar. Tak hanya bentuk apel yang menjadi pusat perhatian, namun kemelut awan-awan dengan warna putih kekuningan dan nuansa kelam tanpa warna yang gelap belum lagi kehadiran telinga-telinga yang tidak tergambar pada tempatnya. Telinga-telinga yang bergabung dengan awan-awan yang seolah menyelimuti. Semua bentuk yang dideskripsikan di atas digambarkan secara realis oleh Arisno sehingga semua bentuk dapat terbaca dengan jelas (visual). Dari sekian banyak bentuk yang menonjol bahkan apel yang seolah menjadi centre of interest pun menurut saya adalah bagian pendukung yang digunakan untuk menjelaskan main point yang diangkat oleh Arisno dalam karya lukisnya. Poin utama pada lukisan Red Apple menurut saya adalah anomali yang disamarkan oleh pelukis. Bentuk lain yang bukan repetisi dan amat kontras namun samar. Bentuk awan berwarna hitam transparan namun nampak kelam berbentuk hati. Awan hitam itulah yang menurut saya dijadikan point utama pada lukisan Red Apple.
Sebuah karya ketika dia sudah jadi dan dipamerkan pada kalayak, peran seniman sudah mati dan apresiator memiliki kebebasan untuk membaca karya tersebut sesuai dengan interpretasinya sendiri. Dalam posisi ini karyalah yang berbicara bukan seniman lagi.
Red Apple adalah perwakilan dari permasalahan pribadi yang dialami oleh pelukis. Suara buku harian dari Arisno Efendi yang dituangkan dalam bidang kanvas. Permasalahan tentang cinta memang paling sering muncul dalam tema penciptaan pada mahasiswa bahkan seniman senior. Percintaan sendiri bukan berarti perkara remeh temeh, tergantung dari kecerdasan pelukis mengolah konsep dan visual pada kanvas serta kedalaman pemahaman tentang tema yang diangkat.
Apel yang dimunculkan merupakan perwakilan dari hasrat manusia seperti pengibaratan apel sebagai buah quldi yang karenanya Adam dan Hawa diturunkan Tuhan ke bumi. Apel pertama yang berukuran paling besar dengan bibir-bibir merah merekah menggambarkan hasrat yang cukup kuat tentang sexsualitas. Bibir disini mewakili sensualitas perempuan. Seperti nafsu atau hasrat beberapa laki laki pada perempuan yang cenderung hanya pada pemuasan hubungan sexsualitas. Dua lambang hati yang hadir dari kilau apel adalah jalinan hubungan pasangan yang masuk (bagian) dalam hasrat sexsualitas tersebut. Menjalin hubungan bukan didasari rasa melengkapi dan keseriusan, namun hanya sekedar pemuas nafsu. Namun bisa saja lukisan ini bercerita bahwa cinta adalah manusia itu sendiri dan pada hakikatnya cinta itu adalah birahi, sex yang tujuannya adalah untuk meneruskan darah keturunan. Nafsu tersebut pada akhirnya memberi dampak pada sebuah keburukan, kehancuran dan bisa jadi pada kemakmuran dan kebaikan. Tidak selamanya hasrat sexualitas dalam sebuah hubungan itu berkonotasi buruk. Pesan ini disampaikan melalui asap yang keluar dari batang apel. Hasrat yang terlalu besar pada sexsualitas sebuah hubungan itu ibarat api yang mengeluarkan asap. Asap sebagai akibat dari perbuatan. Simbol tengkorak yang muncul cukup cerdas dipilih pelukis dalam mewakili dampak dari  hasrat tersebut. Tengkorak memiliki dua arti, mayoritas masyarakat kita mendefinisikan simbol tengkorak sebagai simbol dari keburukan.  Layaknya racun tikus yang bisa membunuh siapa saja yang meminumnya, namun untuk suku dayak di Kalimantan, tengkorak sendiri merupakan simbol kemakmuran karena iru dahulu masyarakat dayak melakukan perburuan kepala untuk diambil tengkoraknya yang konon mampu menjaga kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sukunya. Jika dikomparasikan dengan karya Red Apple, asap dengan wajah tengkorak merupakan kemakmuran dari dampak hasrat sexualitas pasangan dalam balutan cinta (birahi) itu sendiri. Kenapa makmur? Karena dari aktivitas tersebut manusia dapat berkembang biak dan meneruskan keturunan, sebuah keluarga merasa bahagia ketika dikaruniai keturunan dan sejahtera yang dimaksut adalah adanya keturunan yang akan menjadi penerus dari manusia sebelumnya.
Apel berikutnya dengan ukurang yang lebih kecil dengan wajah manusia yang memejamkan mata lebih menyerupai aktivitas perenungan. Atau lebih pada kesepian dan pilih menutup mata pada realita disekeliling. Tenggelam dalam hasrat itu sendiri, mungkin ini bukan kritik namun gambaran diri pelukis menanggapi gejala percintaan dan menanggapi kesendiriannya.
Apel terakhir, apel terkecil diantara keduanya yang polos tanpa tambahan apapun hanya asap pada batang. Sederhananya apel terakhir ini menggambarkan hasrat yang masih dalam kadar wajar atau mungkin keberadaannya hanya sebagai pelengkap untuk komposisi visual.
Deretan repetisi apel yang semakin kebelakang semakin mengecil ini seperti sebuah permasalahan ketika sebuah nafsu atau hasrat yang kecil atau dalam batas wajar terus menerus dibakar semakin lama akan semakin menjadi dan memberi dampak buruk pada manusia itu sendiri.
Bukan hanya apel symbol dan pesan yang Nampak dari lukisan Red apple tersebut. Gerombolan telinga yang terpasang tidak pada tempatnya itu seolah memiliki pesan terembunyi. Dari sini saya jadi menangkap hasrat yang dilukiskan dalam bidang dua dimensi ini lebih pada pergaulan remaja. Romansa percintaan manusia ababil pemuja nafsu. Telinga merupakan salah satu indra pendengar yang mampu menangkap getaran suara. Itu artinya telinga adalah media manusia untuk mrnangkan informasi atau omongan  manusia lain (informasi audio). Telinga yang diselimuti awan-awan menggambarkan bahwa permasalahan yang digambarkan melalui symbol apel dan segala bentuk yang dimunculkan di dalamnya sebenarnya sudah sering didengar oleh banyak orang namun posisi apel pada awan seperti memberi isyarat bahwa permasalahan itu hanya ada di angan-angan yang melayang-layang di awang-awang, tidak ada tindakan untuk menindak lanjuti pergaulan remaja yang sudah terlampau batas yang cenderung memuja hawa nafsu dan bahkan sampai dengan mudahnya menjalin hubungan hanya untuk pemenuhan hasrat sexsualitas semata.
Symbol terakhir yang mampu saya baca, simbol yang samar-samar nampak sekaligus menjadi pembeda dari sekian repetisi yan dibuat oleh Arisno. Sekumpulan awan tipis yang dilukis secara transparan dengan warna yang sedikit gelap dibandingkan dengan warna-warna yang lain yang bentuknya menyerupai hati. Anomaly inilah yang menurut saya point dari karya lukis Red apple. Cinta dengan warna gelap, mewakili pesan yang ingin disampaikan pelukis bahwa cinta adalah kerumitan dan bias jadi cinta yang semacam itu adalah kesakitan. Kesakitan diwakili oleh warna gelap. Cinta yang kejam yang hanya mengumbar hawa nafsu tanpa memikirkan sebuah keseriusan hubungan dan moralitas.
Dalam karya ini pelukis lebih mengkritisi percintaan remaja atau bahkan ini sering pula terjadi dalam percintaan manusia dewasa. Cenderung berkonotasi negative namun sarat akan pesan moral bagi apresiator. Ini interpretasi saya selaku apresiator dan mungkin akan berbeda jika diapresiasi oleh orang lain. Karya lukis memang mampu berbicara melalui symbol-simbol visual namun tafsir merupakan kebebasan dari pengamat atau apresiator.


Garis Cakrawala "Perjalanan Melalui Pancaroba"

Jakarta, 16 Maret 2014 sekelompok pemuda Solo menginjakkan kakinya di ibu kota. Hawa panas dan dehidrasi yang meradang tak menjadi penghalang dalam sebuah pergerakan luar biasa yang menjadi langkah pencapaian mereka. Setiap manusia tentunya memiliki mimpi begitu pula dengan sekelompok pemuda yang menyebut namanya “Garis Cakrawala” ini.
Sebelum berkisah seputar kegitan “Garis Cakrawala” selama di Jakarta, mungkin diantara kita ada yang belum tahu who is “Garis Cakrawala”? Siapa saja yang tergabung di dalamnya? Dan mungkin akan banyak lagi pertanyaan yang bermunculan. Agar tidak bertanya-tanya dikemudian hari dipersilahkan “Garis Cakrawala” untuk memperkenalkan diri.
Siapa “Garis Cakrawala”?
“Garis Cakrawala” merupakan komunitas seni rupa yang tumbuh dan berkembang di kota Solo lebih mengerucut lagi kelompok ini tumbuh dari sebuah kampus mungil yang dulu sempat digunakan sebagai proses perkuliahan jurusan seni rupa murni yang sekarang akrap disapa Kepatihan Artspace. Pertama kali dibentuk pada 16 Juli 2009 oleh sekelompok mahasiswa seni rupa murni dari berbagai angkatan.
Pada awal dibentuknya, komunitas ini menggunakan nama Cakrawala Fine Art Comunity dan anggotanya pun masih berskala kecil. Perubahan nama dari Cakrawala Fine Art Comunity ke “Garis Cakrawala” adalah langkah awal dari komunitas ini untuk memulai pergerakan baru setelah beberapa waktu sempat fakum. Tujuannya sendiri untuk memperkuat identitas, keunikan dan semangat pergerakan dari komunitas.
“Garis Cakrawala” sendiri tidak membatasi siapa saja yang ingin bergabung di dalamnya. Hal ini terlihat dalam beberapa pameran dan kegiatan berkesenian sebelumnya yang juga melibatkan mahasiswa pertukaran pelajar asal Malaysia Arina Kiswanto dalam pameran seni rupa di Galeri Pemuda Surabaya 2013 lalu dan seniman asal Brazil Maximo Elizondo belum lagi mahasiswa di luar seni rupa murni yang turut bergabung dalam komunitas ini. “Garis Cakrawala” pada akhirnya menjadi komunitas yang heterogen. Sekalipun terbentuk dari berbagai karakter dan latar belakang personal yang berbeda-beda, berdirinya sebuah komunitas maupun kelompok tetap didasari pada semangat tujuan yang sama.
Selama masa pertumbuhannya, “Garis Cakrawala” telah banyak melaukan berbagai kegiatan berkesenian baik di kota kelahirannya sendiri maupun di luar kota. Pergerakan mereka tidak memberi sekat pada kesenian di luar seni rupa  walaupun fokus mereka memang lebih ke arah itu. Dalam beberapa kesempatan komunitas ini juga tak segan-segan berkolaborasi dengan kelompok teater, sastra bahkan musik.
Identitas dan karakter. Tentuya setiap kelompok maupun komunitas memiliki karakter pembeda dari komunitas lain. Dilihat dari karya-karya anggota komunitas dan pergerakannya selama ini, “Garis Cakrawala” lebih bersifat pada gerakan komunal dalam seni rupa kontemporer dan moderen. Gerakan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari kondisi Solo sendiri. Solo memang kota yang masih kuat mempertahankan kesenian tradisinya. Seni tradisi memperoleh tempat yang lebih dari pada seni kontemporer dan moderen. Kesenian tradisi sekalipun masih didominsi oleh seni pertunjukan. Berangkat dari alsan itulah kounitas ini sekaligus ingin membuka ruang-ruang baru untuk seni kotemporer dan moderen. Gerakan tersebut tidak ada kaitannya dengan perlawanan terhadap seni tradisi, hanya ingin memberi warna baru pada aktifitas kesenian kota Solo. “Walaupun arahya ke kontemporer dan moderen aku ingin semua anggota di sini punya identitas sama karya mereka yaitu identitas lokal. Bukan identitas  yang membuat karya mereka jauh dari  tanah kelahirannya dan menjadi identitas lain di luar mereka” kata Irul Hidayat selaku ketua komunitas selepas ngobrol santai di depan galeri tempat “Garis Cakrawala” menggelar pameran.
Dari Solo ke Jakarta
Sebuah perjuangan yang bisa diteladani. Perjuangan yang entah bermodalkan nekat atau mimpi yang kelewat batas bahkan sudah mulai akut. Yang jelas bukan hal yang mudah bagi sekelompok pemuda ini untuk sampai di Jakarta dengan karya-karyanya dan membawa nama baik kota kelahirannya.
Tentang bagaimana proses “Garis Cakrawala” bisa sampai ke Jakarta tentu menjadi sangat menarik untuk diketahui. Apakah memang hanya bermodal karya dan nekat yang kelewat akut? Bisa jadi begitu, bisa jadi ada komponen lain yang struktural untuk sampai ke Jakarta. Don’t judge book from this cover kutipan ini yang harus diterapkan ketika berbicara tentang “Garis Cakrawala”. Jangan hanya melihat dari tampilannya yang kumal, jangan lihat rambut gondrong kusut yang terlihat jarang disisir, jangan lihat mata merah mereka yang layu, jangan lihat kelakuannya yang selengekan dan jangan-jangan yang lain. Karena dibalik itu semua tersimpan spirit komunal yang mampu mengantarkan mereka pada gerbang kiprah kesenian (seniman). Satu hal penting yang bisa dijadikan renungan. “Kampus tidak akan menjadikanmu seorang seniman atau apa pun, kamu sendirilah yang mampu menjadikan dirimu akan jadi apa kamu” dikutip dari Pak Rudi pria dengan rambut berwarna putih yang suka nongkrong di toko buku Taman Ismail Marzuki.
Lantas bagaimana proses “Garis Cakrawala” sampai bisa pameran di kampung halaman si Pitung? Pergerakan mereka sudah dimulai dari setahun yang lalu. Menyiapkan karya yang akan dipamerkan, menyusun proposal, menghubungi kurator untuk mengkurasi karya-karya yang akan dipamekan sampai nyelengi buat bekal ke Jakarta.
Selain mengajukan proposal agar bisa pameran di Taman Ismail Marzuki,  pameran seni rupa komunitas “Garis Cakrawala” ini juga merupakan hasil kerja sama dengan teman-tema IKJ. Support yang sangat besar dari “Namanya Juga Anak Muda” komunitas mahasiswa IKJ yang sempat berkegiatan di Solo pada liburan tahun baru kemarin.
Pengajuan prosal mereka diterima sekitar enam bulan yang lalu, karena pameran disponsori oleh pihak Taman Ismil Marzuki (TIM), segala keperluan mengenai penyelengaaan pameran sudah menjadi tanggung jawab TIM dari mulai katalog, ketersediaan galeri yang dipakai untuk display karya, konsumsi pembukaan bahkan sampai petugas yang membantu kelancaran pameran.
Melalui “Garis Cakrawala” kita mampu memahami pentingnya sebuah kerja jaringan. Bukan sepintar apa kamu di kampus, bukan seberapa banyak huruf A yang tercantum pada traskip nilai, bukan seberapa banyak bertaya dalam kelas tapi seberapa aktifnya kamu bergerak dan berhubungan dengan sesuatu yang ada di luar kamu. Ada istilah yang cukup bagus “jangan hanya jadi si jago kandang”. Membangun kerja jaringan sebanyak mungkin dan menjadi manusia sosial seperti kodratnya.
Tentang Pameran
Merespon periode transisi kehidupan dari bebagai persoalan dan perubahan di Indonesia dalam tataran sosiap, politik, ekonomi bahkan kebudayaan.(katalog Pancaroba Pancaroba;2014).
Bisa dibilang pameran ini bersiat universal alias tidak ada tema yang mengerucut dan spesifik. Walaupun demikian, mereka memiliki semangat juang yang sama dan berjalan mengerucut menuju satu titik puncak yang sama.
Pancaroba Pancaroba dipilih sebagai tema besar pameran mereka yang digelar di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Pancaroba merupakan masa transisi atau peralihan. Peralihan seperti apa yang dimaksud? Peralihan dari anak bau kencur menuju baleq atau bagamana?
 Pancaroba tentu tidak hanya sekedar perubahan dari “Garis Cakrawala” secara personal, namun bagaimana mereka melihat gejala-kejaa disekeliling mereka yang kian hari selalu mengalami perubahan dan transisi. Perubahan dari kondisi lingkungan tempat mereka itu kemudian direspon dalam penciptaan karya seni dengan melalui proses eksplorasi pribadi. Pancaroba juga dimaknai sebagai sebuah proses perenungan “Garis Cakrawala” selama ini. Perenungan terhadap apa yang pernah mereka jalani, pergolakan dari perubahan yang terjadi dalam diri masing-masing anggota maupun “Garis Cakrawala” sendri. Pergolaan yang penuh dengan eksplorasi, kegelisahan, poses kekaryaan bahkan sampai hal yang mendasar yaitu pergolakan bagaimana besok berkarya, yang erat kaitannya dengan ekonomi. Tema besar ini diharapkan mampu mewakili maksud dari komunitas ini berpameran.
Pra Pameran Pancaroba Pancaroba
Dua hari sebelum pameran dimulai, Garis Cakrawala sudah tiba di Jakarta untuk mempesiapkan karya yang akan dipamerkan. Dua hari di Jakarta digunakan sebagai moment silaturahmi dengan teman-teman IKJ sekaligus display karya. Selama proses display karya, mereka ditemani oleh kurator mereka yaitu Hendra Himawan.
Sepintas memperkenalkan bahwa Hendra Himawan yang akrap disapa Hendra ini adalah kurator independent dari Sukoharjo, Solo yang menempuh pendidian S1 dan S2-nya di ISI Yogyakarta. Sebelum memutuskan untuk menjadi kurator independent Hendra sempat menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space selama dua tahun dan kurator TMT Street Art Room Yogyakarta. Selain berkarya melalui tulisan-tulisan yang apik, hendra juga aktif dalam kegatan seni, salah satunya adalah sebagai programer WASH (Weekly Art Sharing) Yogyakarta.
Setelah display selesai dilanjutkan dengan mural di lobby galeri. Mural ini digunakan sebagai karya pembuka sebelum pengunjung atau apresiator memasuki ruang pamer. Ketika ditanya mengenai maksud dari mural salah seorang anggota SAYAP (Surakarta Young Artist Project) Rofiq menyatakan bahwa “mural ini menggambarkan sebuah perjalanan yang kami  lalui”. Banyak figur yang berbeda-beda dalam satu kapal yang mengarungi lautan menggambarkan keberagaman komunitas Garis Cakrawala dan SAYAP yang turut serta dalam even ini, meski heterogen mereka bernaung dalam satu tempat yang sama untuk mengarungi dan mencapai tujuan yang sama.
Malam Pembukaan Pameran
18 Maret 2014 tepatnya pukul tujuh lebih tiga puluh, galeri Cipta II TIM sudah ramai didatangi beberapa pengunjung. Ada yang dari kalangan mahasiswa, dosen, seniman bahkan masyarakat umum. Suasana yang agak berbeda dengan Solo. Jika kegiatan kesenian seringnya jeruk nonton jeruk alias teman nonton teman, di Jakarta apresiator yang datang lebih beragam. Mungkin karena lokasi yang strategis juga ikut mempengaruhi. Lokasi TIM yang mudah untuk dijangkau dan akses yang terbilang muda cukup untuk membuat massa berbondong datang ke sana.
Pembukaan pameran makin riuh dengan sorak sorai mahasiswa IKJ , terlebih saat Irul Hidayat memberikan sambutan selaku ketua panitia sekaligus ketua Komunitas. Setelah itu disusul oleh Hendra Himawan yang memberi gambaran mengenai pameran dan karya-karya yang sudah siap untuk diapresiasi.
Ketika pintu galeri terbuka puluhan orang masuk berduyun-duyun memasuki galeri, mengisi buku tamu, mengambil katalog pameran namun sebagian besar tak langsung masuk ke ruang pamer tapi membelok sejenak menikmati beberapa hidangan kecil yang disiapkan. Seperi ritual biasanya, makan dulu baru nonton.
Pembukaan pameran dihadiri lebih dari seratus pengunjung, pengunjung yang datang pun terlihat sangat antusias dalam mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan. Bagaimana antusias apresiator trsebut?apa yang membuat pameran ini menarik? Semua  penilaiaan tersebut dapat dijawab oleh pengunjung sekaligus apresiator karya. Tidak hanya dari kalangan seni rupa saja bahkan masyarakat awam atau yang dari seni pertunjukan pun turut andil dalam mengapresiasi karya-karya komunitas ini.
“Menarik skali pameran ini, karya-karya yang ditampilkan cukup berkarakter semua dan saya paling suka karya itu(sambil menunjuk karya “Ungodless” karya Indra Kamesywara) karena senimannya berani menggunakan warna yang kuat dan itu kesulitan dalam harmoni, namun senimannya mampu mengatasinya” kata pak Busron seniman teater asal Surabaya yang lama menetap di Jakarta ketika menghadiri pembukaan pameran.
Hiruk pikuk para pengunjung sontak membuat seniman yang memiliki hajat sumringah dan puas karena apresiator yang antusias menikmati karya-karya mereka. Bahkan salah seorang apresiator yang kebetulan lewat dan awam dengan dunia seni juga turut menikmati karya-karya yang dipamerkan.
“Karya-karyanya keren, nggak cuma karya moderen aja yang ditampilkan tapi karya yang berbau tradisi juga masih tetep ada. Jadi karya-karyanya komplit lah pameran ini. Kalau ditanya tentang karya saya nggak begitu paham, tapi saya suka” kata Faris salah seorang apresiator yang datang pada pameran Pancaroba Pancaroba.
Pembukaan adalah primadona pameran, bagamana tidak, sebuah keasyikan yang berbeda dan unik. “Baru kali ini datang ke acara pameran dan dihibur gerobak dangdut. Country banget rasanya” kata David salah seorang anggota kelompok SAYAP yang kala itu  sedang ashik berjoged ria. Rasanya memang sangat seuatu sekali kalau kata Syahrini. Sebuah pengalaman yang luar biasa dengan gerobak dangdut dan semangat joged yang merayat.
Pembukaan pameran boleh jadi primadona, tapi bukan berarti hari-hari berikutnya hanya menjadi selir yang jarang dijamah, hari-hari berikutnya pameran tetap ramai dikunjungi walau tanpa musik dangdut. Hampir tujuh puluh orang yang datang tiap harinya setelah pembukaan pameran.
Moment yang berkesan dan membuat anggota Garis Cakrawala dan SAYAP tertawa riang gembira adalah ketika di suatu pagi yang sejuk rombongan malaikat kecil berseragam merah putih berduyun-duyun menyerbu galeri dengan suara riuh yang lucu. Bocah-bocah taman kanak-kanak yang dengan kepolosanya mengapresiasi lukisan kakak-kakak seniman. Ada yang berkata “wah ada pak presiden, tapi kok mukanya biri-biru?”ketia anak-anak sampai pada lukisan Irul Hidayat. Cukup lama anak-anak dan guru yang mendampingi perjalanan tour mereka berdiri di depan lukisan Irul Hidayat. Guru mencoba memperkenalkan presiden republik ini dari mulai Soekarno sampai SBY yang dilukiskan dengan terang oleh Irul.  Beranjak dari lukisan presiden, anak-anak itu berteriak histeris “WAH..LUCU!” ketika sampai pada lukisan Sonny Hendrawan. Terlontar kritik polos yang jujur dari anak-anak itu. Apresiasi yang berbeda dengan orang dewasa tentunya dan cukup menghibur komunitas ini untuk semakin bersemangat menyusun projek selanjutnya.
Sebuah warna baru memang, terutama untuk Solo. Banyak seniman dari Solo, entah dia setia menetap di kota kelahiran maupun keluar dari Solo. Namun dari sekian banyak seniman Solo, tak banyak atau mungkin malah belum ada yang bergerak dengan semangat komunal atau berkomunitas untuk sukses bersama. Melalui pameran ini kita bisa belajar tentang kebersamaan, semangat untuk bewrbagi dan sukses bersama bukan hanya membawa diri sendiri.