Senin, 24 Maret 2014

“Red Apple” Cinta atau Hasrat (Birahi)

Di Gedung Seni Rupa Murni pada lobby lantai satu dan dua  di samping kiri dan kanan tergantung karya-karya lukis dosen dan mahasiswa alumni. Ada yang bertemakan politik, sosial bahkan permasalahan pribadi dan paling mendasar ada pula karya yang abstrak dan tak bisa dibaca bentuknya. Karya-karya itu hadir dengan membawa sekumpulan simbol dan pesan yang dikomposisikan dalam sebuah ruang (kanvas).
Salah satu karya yang mengusik perhatian dari sekian banyak karya yang tergantung di dinding lobby itu adalah sebuah lukisan berukuran 200x150 cm bermediakan cat minyak di atas kanvas karya Arisno Efendi yang berjudul Red Apple.
Saya akan coba memberi gambaran tentang lukisan Red Apple karya Arisno Efendi. Tiga apel merah segar dengan butir-butir air yang menggairahkan berjajar rapi seolah berbaris, namun disususun dengan irama yang menarik dengan komposisi semakin mengecil ke belakang menjadi interest pertama saat mengapresiasi karya Arisno. Namun bukan apel yang membuat karya ini menarik, aneka bentuk yang dimunculkan Arisno dalam bentuk apel itu membuatnya menjadi surealis. Apel pertama, apel dengan ukuran paling besar yang diposisikan di depan dengan bentuk bibir-bibir merah merekah dan bentuk dua hati yang terbentuk dari hasil kilauan apel, serta asap yang menyerupai bentuk tengkorak yang muncul dari batang apel. Apel berbentuk sedang yang berada di samping belakang apel besar masih dengan batang yang memunculkan asap namun tanpa wujud tengkorak serta dari permukaan apel dihadirkan wajah manusia dengan mata terpejam. Apel terakhir dan terkecil pada posisi paling belakang digambarkan tetap murni dengan kesegarannya tanpa menambahkan bentuk apapun pada permukaan apel namun masih dengan batang yang terbakar. Tak hanya bentuk apel yang menjadi pusat perhatian, namun kemelut awan-awan dengan warna putih kekuningan dan nuansa kelam tanpa warna yang gelap belum lagi kehadiran telinga-telinga yang tidak tergambar pada tempatnya. Telinga-telinga yang bergabung dengan awan-awan yang seolah menyelimuti. Semua bentuk yang dideskripsikan di atas digambarkan secara realis oleh Arisno sehingga semua bentuk dapat terbaca dengan jelas (visual). Dari sekian banyak bentuk yang menonjol bahkan apel yang seolah menjadi centre of interest pun menurut saya adalah bagian pendukung yang digunakan untuk menjelaskan main point yang diangkat oleh Arisno dalam karya lukisnya. Poin utama pada lukisan Red Apple menurut saya adalah anomali yang disamarkan oleh pelukis. Bentuk lain yang bukan repetisi dan amat kontras namun samar. Bentuk awan berwarna hitam transparan namun nampak kelam berbentuk hati. Awan hitam itulah yang menurut saya dijadikan point utama pada lukisan Red Apple.
Sebuah karya ketika dia sudah jadi dan dipamerkan pada kalayak, peran seniman sudah mati dan apresiator memiliki kebebasan untuk membaca karya tersebut sesuai dengan interpretasinya sendiri. Dalam posisi ini karyalah yang berbicara bukan seniman lagi.
Red Apple adalah perwakilan dari permasalahan pribadi yang dialami oleh pelukis. Suara buku harian dari Arisno Efendi yang dituangkan dalam bidang kanvas. Permasalahan tentang cinta memang paling sering muncul dalam tema penciptaan pada mahasiswa bahkan seniman senior. Percintaan sendiri bukan berarti perkara remeh temeh, tergantung dari kecerdasan pelukis mengolah konsep dan visual pada kanvas serta kedalaman pemahaman tentang tema yang diangkat.
Apel yang dimunculkan merupakan perwakilan dari hasrat manusia seperti pengibaratan apel sebagai buah quldi yang karenanya Adam dan Hawa diturunkan Tuhan ke bumi. Apel pertama yang berukuran paling besar dengan bibir-bibir merah merekah menggambarkan hasrat yang cukup kuat tentang sexsualitas. Bibir disini mewakili sensualitas perempuan. Seperti nafsu atau hasrat beberapa laki laki pada perempuan yang cenderung hanya pada pemuasan hubungan sexsualitas. Dua lambang hati yang hadir dari kilau apel adalah jalinan hubungan pasangan yang masuk (bagian) dalam hasrat sexsualitas tersebut. Menjalin hubungan bukan didasari rasa melengkapi dan keseriusan, namun hanya sekedar pemuas nafsu. Namun bisa saja lukisan ini bercerita bahwa cinta adalah manusia itu sendiri dan pada hakikatnya cinta itu adalah birahi, sex yang tujuannya adalah untuk meneruskan darah keturunan. Nafsu tersebut pada akhirnya memberi dampak pada sebuah keburukan, kehancuran dan bisa jadi pada kemakmuran dan kebaikan. Tidak selamanya hasrat sexualitas dalam sebuah hubungan itu berkonotasi buruk. Pesan ini disampaikan melalui asap yang keluar dari batang apel. Hasrat yang terlalu besar pada sexsualitas sebuah hubungan itu ibarat api yang mengeluarkan asap. Asap sebagai akibat dari perbuatan. Simbol tengkorak yang muncul cukup cerdas dipilih pelukis dalam mewakili dampak dari  hasrat tersebut. Tengkorak memiliki dua arti, mayoritas masyarakat kita mendefinisikan simbol tengkorak sebagai simbol dari keburukan.  Layaknya racun tikus yang bisa membunuh siapa saja yang meminumnya, namun untuk suku dayak di Kalimantan, tengkorak sendiri merupakan simbol kemakmuran karena iru dahulu masyarakat dayak melakukan perburuan kepala untuk diambil tengkoraknya yang konon mampu menjaga kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sukunya. Jika dikomparasikan dengan karya Red Apple, asap dengan wajah tengkorak merupakan kemakmuran dari dampak hasrat sexualitas pasangan dalam balutan cinta (birahi) itu sendiri. Kenapa makmur? Karena dari aktivitas tersebut manusia dapat berkembang biak dan meneruskan keturunan, sebuah keluarga merasa bahagia ketika dikaruniai keturunan dan sejahtera yang dimaksut adalah adanya keturunan yang akan menjadi penerus dari manusia sebelumnya.
Apel berikutnya dengan ukurang yang lebih kecil dengan wajah manusia yang memejamkan mata lebih menyerupai aktivitas perenungan. Atau lebih pada kesepian dan pilih menutup mata pada realita disekeliling. Tenggelam dalam hasrat itu sendiri, mungkin ini bukan kritik namun gambaran diri pelukis menanggapi gejala percintaan dan menanggapi kesendiriannya.
Apel terakhir, apel terkecil diantara keduanya yang polos tanpa tambahan apapun hanya asap pada batang. Sederhananya apel terakhir ini menggambarkan hasrat yang masih dalam kadar wajar atau mungkin keberadaannya hanya sebagai pelengkap untuk komposisi visual.
Deretan repetisi apel yang semakin kebelakang semakin mengecil ini seperti sebuah permasalahan ketika sebuah nafsu atau hasrat yang kecil atau dalam batas wajar terus menerus dibakar semakin lama akan semakin menjadi dan memberi dampak buruk pada manusia itu sendiri.
Bukan hanya apel symbol dan pesan yang Nampak dari lukisan Red apple tersebut. Gerombolan telinga yang terpasang tidak pada tempatnya itu seolah memiliki pesan terembunyi. Dari sini saya jadi menangkap hasrat yang dilukiskan dalam bidang dua dimensi ini lebih pada pergaulan remaja. Romansa percintaan manusia ababil pemuja nafsu. Telinga merupakan salah satu indra pendengar yang mampu menangkap getaran suara. Itu artinya telinga adalah media manusia untuk mrnangkan informasi atau omongan  manusia lain (informasi audio). Telinga yang diselimuti awan-awan menggambarkan bahwa permasalahan yang digambarkan melalui symbol apel dan segala bentuk yang dimunculkan di dalamnya sebenarnya sudah sering didengar oleh banyak orang namun posisi apel pada awan seperti memberi isyarat bahwa permasalahan itu hanya ada di angan-angan yang melayang-layang di awang-awang, tidak ada tindakan untuk menindak lanjuti pergaulan remaja yang sudah terlampau batas yang cenderung memuja hawa nafsu dan bahkan sampai dengan mudahnya menjalin hubungan hanya untuk pemenuhan hasrat sexsualitas semata.
Symbol terakhir yang mampu saya baca, simbol yang samar-samar nampak sekaligus menjadi pembeda dari sekian repetisi yan dibuat oleh Arisno. Sekumpulan awan tipis yang dilukis secara transparan dengan warna yang sedikit gelap dibandingkan dengan warna-warna yang lain yang bentuknya menyerupai hati. Anomaly inilah yang menurut saya point dari karya lukis Red apple. Cinta dengan warna gelap, mewakili pesan yang ingin disampaikan pelukis bahwa cinta adalah kerumitan dan bias jadi cinta yang semacam itu adalah kesakitan. Kesakitan diwakili oleh warna gelap. Cinta yang kejam yang hanya mengumbar hawa nafsu tanpa memikirkan sebuah keseriusan hubungan dan moralitas.
Dalam karya ini pelukis lebih mengkritisi percintaan remaja atau bahkan ini sering pula terjadi dalam percintaan manusia dewasa. Cenderung berkonotasi negative namun sarat akan pesan moral bagi apresiator. Ini interpretasi saya selaku apresiator dan mungkin akan berbeda jika diapresiasi oleh orang lain. Karya lukis memang mampu berbicara melalui symbol-simbol visual namun tafsir merupakan kebebasan dari pengamat atau apresiator.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar