Di Gedung
Seni Rupa Murni pada lobby lantai satu dan dua
di samping kiri dan kanan tergantung karya-karya lukis dosen dan
mahasiswa alumni. Ada yang bertemakan politik, sosial bahkan permasalahan
pribadi dan paling mendasar ada pula karya yang abstrak dan tak bisa dibaca
bentuknya. Karya-karya itu hadir dengan membawa sekumpulan simbol dan pesan
yang dikomposisikan dalam sebuah ruang (kanvas).
Salah satu
karya yang mengusik perhatian dari sekian banyak karya yang
tergantung di dinding lobby itu adalah sebuah lukisan berukuran 200x150 cm bermediakan
cat minyak di atas kanvas karya Arisno Efendi yang
berjudul Red Apple.
Saya
akan coba memberi gambaran tentang lukisan Red Apple
karya Arisno Efendi. Tiga apel merah segar dengan butir-butir air yang
menggairahkan berjajar rapi seolah berbaris, namun disususun
dengan irama yang menarik dengan komposisi semakin mengecil ke belakang
menjadi interest pertama saat mengapresiasi karya Arisno.
Namun bukan apel yang membuat karya ini menarik, aneka bentuk yang dimunculkan
Arisno dalam bentuk apel itu membuatnya menjadi surealis. Apel pertama, apel dengan
ukuran paling besar yang diposisikan di depan dengan bentuk
bibir-bibir merah merekah dan bentuk dua hati yang terbentuk dari hasil kilauan
apel, serta asap yang menyerupai bentuk tengkorak yang muncul dari batang apel.
Apel berbentuk sedang yang berada di samping belakang apel besar masih dengan
batang yang memunculkan asap namun tanpa wujud tengkorak serta dari permukaan
apel dihadirkan wajah manusia dengan mata terpejam. Apel terakhir dan terkecil
pada posisi paling belakang digambarkan tetap murni dengan kesegarannya tanpa
menambahkan bentuk apapun pada permukaan apel namun masih dengan batang yang
terbakar. Tak hanya bentuk apel yang menjadi pusat perhatian, namun kemelut
awan-awan dengan warna putih kekuningan dan nuansa kelam tanpa warna yang gelap
belum lagi kehadiran telinga-telinga yang tidak tergambar pada tempatnya.
Telinga-telinga yang bergabung dengan awan-awan yang seolah menyelimuti. Semua
bentuk yang dideskripsikan di atas digambarkan secara realis oleh Arisno
sehingga semua bentuk dapat terbaca dengan jelas (visual). Dari sekian banyak
bentuk yang menonjol bahkan apel yang seolah menjadi centre of interest pun menurut saya adalah bagian pendukung yang
digunakan untuk menjelaskan main point yang
diangkat oleh Arisno dalam karya lukisnya. Poin utama pada lukisan Red Apple
menurut saya adalah anomali yang
disamarkan oleh pelukis. Bentuk lain yang bukan repetisi dan amat kontras namun
samar. Bentuk awan berwarna hitam transparan namun nampak kelam berbentuk hati.
Awan hitam itulah yang menurut saya dijadikan point utama pada lukisan Red Apple.
Sebuah
karya ketika dia sudah jadi dan dipamerkan pada kalayak, peran seniman sudah
mati dan apresiator memiliki kebebasan untuk membaca karya tersebut sesuai
dengan interpretasinya sendiri. Dalam posisi ini karyalah yang berbicara bukan
seniman lagi.
Red
Apple adalah perwakilan dari permasalahan pribadi yang
dialami oleh pelukis. Suara buku harian dari Arisno Efendi yang dituangkan
dalam bidang kanvas. Permasalahan tentang cinta memang paling sering muncul
dalam tema penciptaan pada mahasiswa bahkan seniman senior. Percintaan sendiri
bukan berarti perkara remeh temeh, tergantung dari kecerdasan pelukis mengolah
konsep dan visual pada kanvas serta kedalaman pemahaman tentang tema yang
diangkat.
Apel
yang dimunculkan merupakan perwakilan dari hasrat manusia seperti pengibaratan
apel sebagai buah quldi yang karenanya Adam dan Hawa diturunkan Tuhan ke bumi.
Apel pertama yang berukuran paling besar dengan bibir-bibir merah merekah
menggambarkan hasrat yang cukup kuat tentang sexsualitas. Bibir disini mewakili
sensualitas perempuan. Seperti nafsu atau hasrat beberapa laki laki pada
perempuan yang cenderung hanya pada pemuasan hubungan sexsualitas. Dua lambang
hati yang hadir dari kilau apel adalah jalinan hubungan pasangan yang masuk
(bagian) dalam hasrat sexsualitas tersebut. Menjalin
hubungan bukan didasari rasa melengkapi dan keseriusan, namun hanya sekedar
pemuas nafsu. Namun bisa saja lukisan ini bercerita bahwa cinta adalah manusia
itu sendiri dan pada hakikatnya cinta itu adalah birahi,
sex yang tujuannya adalah untuk meneruskan darah keturunan. Nafsu tersebut pada
akhirnya memberi dampak pada sebuah keburukan, kehancuran dan bisa jadi pada
kemakmuran dan kebaikan. Tidak selamanya hasrat sexualitas dalam sebuah
hubungan itu berkonotasi buruk. Pesan ini disampaikan melalui asap yang keluar
dari batang apel. Hasrat yang terlalu besar pada sexsualitas sebuah hubungan
itu ibarat api yang mengeluarkan asap. Asap sebagai akibat dari perbuatan.
Simbol tengkorak yang muncul cukup cerdas dipilih pelukis dalam mewakili dampak
dari hasrat tersebut. Tengkorak memiliki
dua arti, mayoritas masyarakat kita mendefinisikan simbol tengkorak sebagai
simbol dari keburukan. Layaknya racun
tikus yang bisa membunuh siapa saja yang meminumnya, namun untuk suku dayak di
Kalimantan, tengkorak sendiri merupakan simbol kemakmuran karena iru dahulu
masyarakat dayak melakukan perburuan kepala untuk diambil tengkoraknya yang
konon mampu menjaga kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sukunya. Jika
dikomparasikan dengan karya Red Apple, asap dengan wajah tengkorak
merupakan kemakmuran dari dampak hasrat sexualitas pasangan dalam balutan cinta
(birahi) itu sendiri. Kenapa makmur? Karena dari aktivitas
tersebut manusia dapat berkembang biak dan meneruskan keturunan, sebuah
keluarga merasa bahagia ketika dikaruniai keturunan dan sejahtera yang dimaksut
adalah adanya keturunan yang akan menjadi penerus dari manusia sebelumnya.
Apel
berikutnya dengan ukurang yang lebih kecil dengan wajah manusia yang memejamkan
mata lebih menyerupai aktivitas perenungan. Atau lebih pada kesepian dan pilih
menutup mata pada realita disekeliling. Tenggelam dalam hasrat itu sendiri,
mungkin ini bukan kritik namun gambaran diri pelukis menanggapi gejala
percintaan dan menanggapi kesendiriannya.
Apel
terakhir, apel terkecil diantara keduanya yang polos tanpa tambahan apapun
hanya asap pada batang. Sederhananya apel terakhir ini menggambarkan hasrat
yang masih dalam kadar wajar atau mungkin keberadaannya hanya sebagai pelengkap
untuk komposisi visual.
Deretan
repetisi apel yang semakin kebelakang semakin mengecil ini seperti sebuah
permasalahan ketika sebuah nafsu atau hasrat yang kecil atau dalam batas wajar
terus menerus dibakar semakin lama akan semakin menjadi dan memberi dampak
buruk pada manusia itu sendiri.
Bukan
hanya apel symbol dan pesan yang Nampak dari lukisan Red apple tersebut.
Gerombolan telinga yang terpasang tidak pada tempatnya itu seolah memiliki
pesan terembunyi. Dari sini saya jadi menangkap hasrat yang dilukiskan dalam
bidang dua dimensi ini lebih pada pergaulan remaja. Romansa percintaan manusia
ababil pemuja nafsu. Telinga merupakan salah satu indra pendengar yang mampu
menangkap getaran suara. Itu artinya telinga adalah media manusia untuk
mrnangkan informasi atau omongan manusia
lain (informasi audio). Telinga yang diselimuti awan-awan menggambarkan bahwa
permasalahan yang digambarkan melalui symbol apel dan segala bentuk yang
dimunculkan di dalamnya sebenarnya sudah sering didengar oleh banyak orang
namun posisi apel pada awan seperti memberi isyarat bahwa permasalahan itu
hanya ada di angan-angan yang melayang-layang di awang-awang, tidak ada
tindakan untuk menindak lanjuti pergaulan remaja yang sudah terlampau batas
yang cenderung memuja hawa nafsu dan bahkan sampai dengan mudahnya menjalin
hubungan hanya untuk pemenuhan hasrat sexsualitas semata.
Symbol
terakhir yang mampu saya baca, simbol yang samar-samar nampak sekaligus menjadi
pembeda dari sekian repetisi yan dibuat oleh Arisno. Sekumpulan awan tipis yang
dilukis secara transparan dengan warna yang sedikit gelap dibandingkan dengan
warna-warna yang lain yang bentuknya menyerupai hati. Anomaly inilah yang
menurut saya point dari karya lukis Red apple. Cinta dengan warna gelap,
mewakili pesan yang ingin disampaikan pelukis bahwa cinta adalah kerumitan dan
bias jadi cinta yang semacam itu adalah kesakitan. Kesakitan diwakili oleh
warna gelap. Cinta yang kejam yang hanya mengumbar hawa nafsu tanpa memikirkan
sebuah keseriusan hubungan dan moralitas.
Dalam
karya ini pelukis lebih mengkritisi percintaan remaja atau bahkan ini sering
pula terjadi dalam percintaan manusia dewasa. Cenderung berkonotasi negative
namun sarat akan pesan moral bagi apresiator. Ini interpretasi saya selaku
apresiator dan mungkin akan berbeda jika diapresiasi oleh orang lain. Karya
lukis memang mampu berbicara melalui symbol-simbol visual namun tafsir merupakan
kebebasan dari pengamat atau apresiator.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar