Senin, 24 Maret 2014

Garis Cakrawala "Perjalanan Melalui Pancaroba"

Jakarta, 16 Maret 2014 sekelompok pemuda Solo menginjakkan kakinya di ibu kota. Hawa panas dan dehidrasi yang meradang tak menjadi penghalang dalam sebuah pergerakan luar biasa yang menjadi langkah pencapaian mereka. Setiap manusia tentunya memiliki mimpi begitu pula dengan sekelompok pemuda yang menyebut namanya “Garis Cakrawala” ini.
Sebelum berkisah seputar kegitan “Garis Cakrawala” selama di Jakarta, mungkin diantara kita ada yang belum tahu who is “Garis Cakrawala”? Siapa saja yang tergabung di dalamnya? Dan mungkin akan banyak lagi pertanyaan yang bermunculan. Agar tidak bertanya-tanya dikemudian hari dipersilahkan “Garis Cakrawala” untuk memperkenalkan diri.
Siapa “Garis Cakrawala”?
“Garis Cakrawala” merupakan komunitas seni rupa yang tumbuh dan berkembang di kota Solo lebih mengerucut lagi kelompok ini tumbuh dari sebuah kampus mungil yang dulu sempat digunakan sebagai proses perkuliahan jurusan seni rupa murni yang sekarang akrap disapa Kepatihan Artspace. Pertama kali dibentuk pada 16 Juli 2009 oleh sekelompok mahasiswa seni rupa murni dari berbagai angkatan.
Pada awal dibentuknya, komunitas ini menggunakan nama Cakrawala Fine Art Comunity dan anggotanya pun masih berskala kecil. Perubahan nama dari Cakrawala Fine Art Comunity ke “Garis Cakrawala” adalah langkah awal dari komunitas ini untuk memulai pergerakan baru setelah beberapa waktu sempat fakum. Tujuannya sendiri untuk memperkuat identitas, keunikan dan semangat pergerakan dari komunitas.
“Garis Cakrawala” sendiri tidak membatasi siapa saja yang ingin bergabung di dalamnya. Hal ini terlihat dalam beberapa pameran dan kegiatan berkesenian sebelumnya yang juga melibatkan mahasiswa pertukaran pelajar asal Malaysia Arina Kiswanto dalam pameran seni rupa di Galeri Pemuda Surabaya 2013 lalu dan seniman asal Brazil Maximo Elizondo belum lagi mahasiswa di luar seni rupa murni yang turut bergabung dalam komunitas ini. “Garis Cakrawala” pada akhirnya menjadi komunitas yang heterogen. Sekalipun terbentuk dari berbagai karakter dan latar belakang personal yang berbeda-beda, berdirinya sebuah komunitas maupun kelompok tetap didasari pada semangat tujuan yang sama.
Selama masa pertumbuhannya, “Garis Cakrawala” telah banyak melaukan berbagai kegiatan berkesenian baik di kota kelahirannya sendiri maupun di luar kota. Pergerakan mereka tidak memberi sekat pada kesenian di luar seni rupa  walaupun fokus mereka memang lebih ke arah itu. Dalam beberapa kesempatan komunitas ini juga tak segan-segan berkolaborasi dengan kelompok teater, sastra bahkan musik.
Identitas dan karakter. Tentuya setiap kelompok maupun komunitas memiliki karakter pembeda dari komunitas lain. Dilihat dari karya-karya anggota komunitas dan pergerakannya selama ini, “Garis Cakrawala” lebih bersifat pada gerakan komunal dalam seni rupa kontemporer dan moderen. Gerakan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari kondisi Solo sendiri. Solo memang kota yang masih kuat mempertahankan kesenian tradisinya. Seni tradisi memperoleh tempat yang lebih dari pada seni kontemporer dan moderen. Kesenian tradisi sekalipun masih didominsi oleh seni pertunjukan. Berangkat dari alsan itulah kounitas ini sekaligus ingin membuka ruang-ruang baru untuk seni kotemporer dan moderen. Gerakan tersebut tidak ada kaitannya dengan perlawanan terhadap seni tradisi, hanya ingin memberi warna baru pada aktifitas kesenian kota Solo. “Walaupun arahya ke kontemporer dan moderen aku ingin semua anggota di sini punya identitas sama karya mereka yaitu identitas lokal. Bukan identitas  yang membuat karya mereka jauh dari  tanah kelahirannya dan menjadi identitas lain di luar mereka” kata Irul Hidayat selaku ketua komunitas selepas ngobrol santai di depan galeri tempat “Garis Cakrawala” menggelar pameran.
Dari Solo ke Jakarta
Sebuah perjuangan yang bisa diteladani. Perjuangan yang entah bermodalkan nekat atau mimpi yang kelewat batas bahkan sudah mulai akut. Yang jelas bukan hal yang mudah bagi sekelompok pemuda ini untuk sampai di Jakarta dengan karya-karyanya dan membawa nama baik kota kelahirannya.
Tentang bagaimana proses “Garis Cakrawala” bisa sampai ke Jakarta tentu menjadi sangat menarik untuk diketahui. Apakah memang hanya bermodal karya dan nekat yang kelewat akut? Bisa jadi begitu, bisa jadi ada komponen lain yang struktural untuk sampai ke Jakarta. Don’t judge book from this cover kutipan ini yang harus diterapkan ketika berbicara tentang “Garis Cakrawala”. Jangan hanya melihat dari tampilannya yang kumal, jangan lihat rambut gondrong kusut yang terlihat jarang disisir, jangan lihat mata merah mereka yang layu, jangan lihat kelakuannya yang selengekan dan jangan-jangan yang lain. Karena dibalik itu semua tersimpan spirit komunal yang mampu mengantarkan mereka pada gerbang kiprah kesenian (seniman). Satu hal penting yang bisa dijadikan renungan. “Kampus tidak akan menjadikanmu seorang seniman atau apa pun, kamu sendirilah yang mampu menjadikan dirimu akan jadi apa kamu” dikutip dari Pak Rudi pria dengan rambut berwarna putih yang suka nongkrong di toko buku Taman Ismail Marzuki.
Lantas bagaimana proses “Garis Cakrawala” sampai bisa pameran di kampung halaman si Pitung? Pergerakan mereka sudah dimulai dari setahun yang lalu. Menyiapkan karya yang akan dipamerkan, menyusun proposal, menghubungi kurator untuk mengkurasi karya-karya yang akan dipamekan sampai nyelengi buat bekal ke Jakarta.
Selain mengajukan proposal agar bisa pameran di Taman Ismail Marzuki,  pameran seni rupa komunitas “Garis Cakrawala” ini juga merupakan hasil kerja sama dengan teman-tema IKJ. Support yang sangat besar dari “Namanya Juga Anak Muda” komunitas mahasiswa IKJ yang sempat berkegiatan di Solo pada liburan tahun baru kemarin.
Pengajuan prosal mereka diterima sekitar enam bulan yang lalu, karena pameran disponsori oleh pihak Taman Ismil Marzuki (TIM), segala keperluan mengenai penyelengaaan pameran sudah menjadi tanggung jawab TIM dari mulai katalog, ketersediaan galeri yang dipakai untuk display karya, konsumsi pembukaan bahkan sampai petugas yang membantu kelancaran pameran.
Melalui “Garis Cakrawala” kita mampu memahami pentingnya sebuah kerja jaringan. Bukan sepintar apa kamu di kampus, bukan seberapa banyak huruf A yang tercantum pada traskip nilai, bukan seberapa banyak bertaya dalam kelas tapi seberapa aktifnya kamu bergerak dan berhubungan dengan sesuatu yang ada di luar kamu. Ada istilah yang cukup bagus “jangan hanya jadi si jago kandang”. Membangun kerja jaringan sebanyak mungkin dan menjadi manusia sosial seperti kodratnya.
Tentang Pameran
Merespon periode transisi kehidupan dari bebagai persoalan dan perubahan di Indonesia dalam tataran sosiap, politik, ekonomi bahkan kebudayaan.(katalog Pancaroba Pancaroba;2014).
Bisa dibilang pameran ini bersiat universal alias tidak ada tema yang mengerucut dan spesifik. Walaupun demikian, mereka memiliki semangat juang yang sama dan berjalan mengerucut menuju satu titik puncak yang sama.
Pancaroba Pancaroba dipilih sebagai tema besar pameran mereka yang digelar di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Pancaroba merupakan masa transisi atau peralihan. Peralihan seperti apa yang dimaksud? Peralihan dari anak bau kencur menuju baleq atau bagamana?
 Pancaroba tentu tidak hanya sekedar perubahan dari “Garis Cakrawala” secara personal, namun bagaimana mereka melihat gejala-kejaa disekeliling mereka yang kian hari selalu mengalami perubahan dan transisi. Perubahan dari kondisi lingkungan tempat mereka itu kemudian direspon dalam penciptaan karya seni dengan melalui proses eksplorasi pribadi. Pancaroba juga dimaknai sebagai sebuah proses perenungan “Garis Cakrawala” selama ini. Perenungan terhadap apa yang pernah mereka jalani, pergolakan dari perubahan yang terjadi dalam diri masing-masing anggota maupun “Garis Cakrawala” sendri. Pergolaan yang penuh dengan eksplorasi, kegelisahan, poses kekaryaan bahkan sampai hal yang mendasar yaitu pergolakan bagaimana besok berkarya, yang erat kaitannya dengan ekonomi. Tema besar ini diharapkan mampu mewakili maksud dari komunitas ini berpameran.
Pra Pameran Pancaroba Pancaroba
Dua hari sebelum pameran dimulai, Garis Cakrawala sudah tiba di Jakarta untuk mempesiapkan karya yang akan dipamerkan. Dua hari di Jakarta digunakan sebagai moment silaturahmi dengan teman-teman IKJ sekaligus display karya. Selama proses display karya, mereka ditemani oleh kurator mereka yaitu Hendra Himawan.
Sepintas memperkenalkan bahwa Hendra Himawan yang akrap disapa Hendra ini adalah kurator independent dari Sukoharjo, Solo yang menempuh pendidian S1 dan S2-nya di ISI Yogyakarta. Sebelum memutuskan untuk menjadi kurator independent Hendra sempat menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space selama dua tahun dan kurator TMT Street Art Room Yogyakarta. Selain berkarya melalui tulisan-tulisan yang apik, hendra juga aktif dalam kegatan seni, salah satunya adalah sebagai programer WASH (Weekly Art Sharing) Yogyakarta.
Setelah display selesai dilanjutkan dengan mural di lobby galeri. Mural ini digunakan sebagai karya pembuka sebelum pengunjung atau apresiator memasuki ruang pamer. Ketika ditanya mengenai maksud dari mural salah seorang anggota SAYAP (Surakarta Young Artist Project) Rofiq menyatakan bahwa “mural ini menggambarkan sebuah perjalanan yang kami  lalui”. Banyak figur yang berbeda-beda dalam satu kapal yang mengarungi lautan menggambarkan keberagaman komunitas Garis Cakrawala dan SAYAP yang turut serta dalam even ini, meski heterogen mereka bernaung dalam satu tempat yang sama untuk mengarungi dan mencapai tujuan yang sama.
Malam Pembukaan Pameran
18 Maret 2014 tepatnya pukul tujuh lebih tiga puluh, galeri Cipta II TIM sudah ramai didatangi beberapa pengunjung. Ada yang dari kalangan mahasiswa, dosen, seniman bahkan masyarakat umum. Suasana yang agak berbeda dengan Solo. Jika kegiatan kesenian seringnya jeruk nonton jeruk alias teman nonton teman, di Jakarta apresiator yang datang lebih beragam. Mungkin karena lokasi yang strategis juga ikut mempengaruhi. Lokasi TIM yang mudah untuk dijangkau dan akses yang terbilang muda cukup untuk membuat massa berbondong datang ke sana.
Pembukaan pameran makin riuh dengan sorak sorai mahasiswa IKJ , terlebih saat Irul Hidayat memberikan sambutan selaku ketua panitia sekaligus ketua Komunitas. Setelah itu disusul oleh Hendra Himawan yang memberi gambaran mengenai pameran dan karya-karya yang sudah siap untuk diapresiasi.
Ketika pintu galeri terbuka puluhan orang masuk berduyun-duyun memasuki galeri, mengisi buku tamu, mengambil katalog pameran namun sebagian besar tak langsung masuk ke ruang pamer tapi membelok sejenak menikmati beberapa hidangan kecil yang disiapkan. Seperi ritual biasanya, makan dulu baru nonton.
Pembukaan pameran dihadiri lebih dari seratus pengunjung, pengunjung yang datang pun terlihat sangat antusias dalam mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan. Bagaimana antusias apresiator trsebut?apa yang membuat pameran ini menarik? Semua  penilaiaan tersebut dapat dijawab oleh pengunjung sekaligus apresiator karya. Tidak hanya dari kalangan seni rupa saja bahkan masyarakat awam atau yang dari seni pertunjukan pun turut andil dalam mengapresiasi karya-karya komunitas ini.
“Menarik skali pameran ini, karya-karya yang ditampilkan cukup berkarakter semua dan saya paling suka karya itu(sambil menunjuk karya “Ungodless” karya Indra Kamesywara) karena senimannya berani menggunakan warna yang kuat dan itu kesulitan dalam harmoni, namun senimannya mampu mengatasinya” kata pak Busron seniman teater asal Surabaya yang lama menetap di Jakarta ketika menghadiri pembukaan pameran.
Hiruk pikuk para pengunjung sontak membuat seniman yang memiliki hajat sumringah dan puas karena apresiator yang antusias menikmati karya-karya mereka. Bahkan salah seorang apresiator yang kebetulan lewat dan awam dengan dunia seni juga turut menikmati karya-karya yang dipamerkan.
“Karya-karyanya keren, nggak cuma karya moderen aja yang ditampilkan tapi karya yang berbau tradisi juga masih tetep ada. Jadi karya-karyanya komplit lah pameran ini. Kalau ditanya tentang karya saya nggak begitu paham, tapi saya suka” kata Faris salah seorang apresiator yang datang pada pameran Pancaroba Pancaroba.
Pembukaan adalah primadona pameran, bagamana tidak, sebuah keasyikan yang berbeda dan unik. “Baru kali ini datang ke acara pameran dan dihibur gerobak dangdut. Country banget rasanya” kata David salah seorang anggota kelompok SAYAP yang kala itu  sedang ashik berjoged ria. Rasanya memang sangat seuatu sekali kalau kata Syahrini. Sebuah pengalaman yang luar biasa dengan gerobak dangdut dan semangat joged yang merayat.
Pembukaan pameran boleh jadi primadona, tapi bukan berarti hari-hari berikutnya hanya menjadi selir yang jarang dijamah, hari-hari berikutnya pameran tetap ramai dikunjungi walau tanpa musik dangdut. Hampir tujuh puluh orang yang datang tiap harinya setelah pembukaan pameran.
Moment yang berkesan dan membuat anggota Garis Cakrawala dan SAYAP tertawa riang gembira adalah ketika di suatu pagi yang sejuk rombongan malaikat kecil berseragam merah putih berduyun-duyun menyerbu galeri dengan suara riuh yang lucu. Bocah-bocah taman kanak-kanak yang dengan kepolosanya mengapresiasi lukisan kakak-kakak seniman. Ada yang berkata “wah ada pak presiden, tapi kok mukanya biri-biru?”ketia anak-anak sampai pada lukisan Irul Hidayat. Cukup lama anak-anak dan guru yang mendampingi perjalanan tour mereka berdiri di depan lukisan Irul Hidayat. Guru mencoba memperkenalkan presiden republik ini dari mulai Soekarno sampai SBY yang dilukiskan dengan terang oleh Irul.  Beranjak dari lukisan presiden, anak-anak itu berteriak histeris “WAH..LUCU!” ketika sampai pada lukisan Sonny Hendrawan. Terlontar kritik polos yang jujur dari anak-anak itu. Apresiasi yang berbeda dengan orang dewasa tentunya dan cukup menghibur komunitas ini untuk semakin bersemangat menyusun projek selanjutnya.
Sebuah warna baru memang, terutama untuk Solo. Banyak seniman dari Solo, entah dia setia menetap di kota kelahiran maupun keluar dari Solo. Namun dari sekian banyak seniman Solo, tak banyak atau mungkin malah belum ada yang bergerak dengan semangat komunal atau berkomunitas untuk sukses bersama. Melalui pameran ini kita bisa belajar tentang kebersamaan, semangat untuk bewrbagi dan sukses bersama bukan hanya membawa diri sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar