Minggu, 15 Desember 2013

Ornamen Surakarta dan Filosofinya dari Kacamata Antropologi




Berawal dari sebuah diskusi kampus tentang warisan budaya nusantara, wawasan budaya Indonesia persisnya. Bahasan tentang tradisi dan kesenian tradisional.  Waktu itu kami membahas tentang motif ornamen gaya Surakarta. Ornamen sering diterapkan pada ukiran kayu seperti pada daun pintu, tiang, jendela dan perabotan rumah tangga. Sepintas mata memandang motif pada ukiran kayu tersebut tak lebih dari sebuah hiasan yang memberi nilai tambah pada benda medianya. Namun siapa sangka, di balik wujudnya  yang indah dengan lengkungan-lengkungan lembut dan stilasi tumbuhan yang menawan menyimpan filosofi yang adiluhung.
Sebuah buku karya Subandi B. A tentang Ornamen Nusantara menyatakan bahwa setiap bentuk yang terdapat dalam ornamen gaya surakarta merupakan gambaran sifat dan perilaku  masyarakat Solo yang lemah lembut, welas asih, gotong royong dan tetunya gambaran yang baik-baik. Filosofi tersebut bukan hanya gambaran tentang warga solo namun juga sebagai pengharapan atas ketentraman dan kedamaian bagi warga Solo. Nah...yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana kita mengetahui filsofi yang terkandung di dalamnya ketika melihat karya ornamen Surakarta ini. Bentuk apa yang mewakili semua filosofi tersebut? Bahkan kita tida bisa mengetahui filosofi motif ketika pertama melihat atau bahkan sebagian orang yang tidak mengetahui filosofinya hanya menganggapnya sekedar hiasan yang memperindah sebuah arsitektur bangunan atau perabotan, bentuk karya seni terapan atau seni hias.
Pertanyaan selanjutnya apakah ornamen hanya milik Surakarta? Jelas tidak, di Jepara yang masih sama-sama dari Jawa tengah pun memiliki motif ornamen yang diterapkan pada ukir kayu, hanya saja ornamen Jepara lebih rumit dan njelimet. Akan berbeda jika dibandingkan dengan ornamen Madura, ornamen Bali atau ornamen geometris dari suku Asmat.  Bahkan ornamen tidak hanya  berasal dari Indonesia. Jika dilihat dari sejarah kemunculan ornamen, ornamen Indonesia tidak seratus persen karya orisinil. Ornamen Indonesia juga banyak dipengaruhi dari kebudayaan china, Islam dan Belanda semasa penjajahan.
Ornamen disetiap wilayah tentunya memiliki fiosofi yang berbeda, namun memiliki benang merah yang hampir sama. Kemudian filosofi tersebut diterima secara alamiah dan diiyakan tanpa ada protes dari masyarakat.Walaupun terkadang masyarakat juga tidak sepenuhnya begitu adanya. Begitu adanya yang dimaksud adalah,  ketika ornamen surakarta dimaknai sebagai gambaran sifat baik warga Solo, namun pada kenyataannya masyarakat Solo juga sama dengan manusia pada umumnya. Mereka akan marah jika diusik, tidak serta merta mereka nerimo dan  pasrah ketika mereka mengalami penyerangan atau ketidak adilan. Jadi pada kenyataanya pemaknaan pada ornamen tersebut hanya mewakili sebagian, atau bahkan hanya untuk sebuah pencitraan. Dan tampaknya hal tersebut sudah mengkonstruksi serta menjadi sterotype dalam masyarakat.Lantas siapa yang menciptakan filosofis-filosofis tersebut?
Awalnya saya berfikir bagaimana pemikiran si pembuat ornamen sebelum ornamen tersebut diinterpretasikan ke dalam berbagai pemaknaan. Hampir sama dengan proses berkesenian saat ini. Terkadang seniman tidak serta merta menciptaan bentuk dan stilasi dengan pemaknaan tertentu, terkadang bentuk diciptakan dari rasa ketertarikan seniman dan ketika karya seni dipamerkan pemngamat secara otomatatis akan melakukan interpretasi terhadap karya seni tersebut dan penilaian terhadap karya seni itu juga beragam.
Mari kita kembali ke ornamen Surakarta. Dilihat dari motif ornamen gaya Surakarta bahkan karya-karya ornmen Indonesia cenderung mengambil bentuk tumbuhan yang distilasi. Hal ini dikarenakan indonesia secara geografi terletak di negara tropis yang kaya akan tumbuhan. Akan berbeda jika dibandingkan dengan ornamen-ornamen yang ada di Afrika. Ornamen-ornamen di Afrika seperti di Mesir cenderung mengambil bentuk geometis. Sekalipun ada motif tumbuhan, sangat berbeda dengan ornamen di daerah tropis. Ornamental cenderung kurang fariatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya penciptaan sebuah karya seni tradisional pun berangkat dari material pada awalnya. Meniru bentuk alam yang sudah ada, kemudian dengan sentuhan artistik si seniman dan kreativitas tiruan dari bentuk yang sudah ada itu menjadi sebuah karya yang memiliki nilai keindahan.
Lantas saya kembalikan lagi, siapa yang menciptakan pemaknaan-pemaknaan tersebut? Jelas penguasa atau kaum elit. Kaum elit di sini bukan berarti kaum kelas atas, bisa mereka yang memiliki kendali kuasa pada suatu bidang seperti pemerintahan, pendidikan dan lain sebagainya. Pada kenyataannya ornamen diciptakan juga untuk kebutuhan kaum elit. Mari kita tengok bangunan keraton, balai kota atau rumah kaum elit. Kerap kali ornamen ukiran kita jumpai pada bangunan tersebut. Entah pada tiang, daun pintu maupun pada jendela. Sementara coba kita tengok pada bangunan rakyat biasa yang bertembokkan bambu, kita tidak menjumpai adanya ukiran disana.
Pada dasarnya ornamen pada ukiran memang diprioritaskan bagi kalangan elit. Sehingga setelah kemunculannya kaum elit seolah menciptakan pemaknaan-pemaknaan untuk meng-adiluhungkan karya seni tersebut.  Karena kendali kuasa itulah, standart dan filosofi tersebut bisa diterima dan seolah-olah hal tersebut berjalan secara alamiah. Seperti karya itu merupakan wahyu yang turun dari Tuhan. Padahal jika diteliti dan dikaji ulang hal terebut berawal dari sesatu yang sederhana. Kemudian muncullah kaum-kaum yang membuat seolah karya seni tradisional adalah karya tuhan, lantas muncul peraturan seni tradisi harus dibuat berdasarkam pakem dan tidak bisa dirubah bahkan sekedar untuk dikembangkan.
Barang kali hal ini pula yang mengakibatkan generasi muda enggan mempelajari budaya atau kesenian lokal. Bukan karena pengaruh budaya barat yang kental, namun ketakutan sudah muncul di awal sebelum mereka sempat mempelajari. Seni tradisi harus begini harus begitu semetara kesenian barat lebih membebaskn untuk melakukan pengembangan dan penciptaan sesuatu yang baru. Bukan bermaksut membandingkan, namun tentu kita pun sadar dan tidak buta dengan kenyataan yang ada di hadapan kita. Tradisi akan terus ada jika ada yang melestarikan, tapi kalau belum-belum sudah ditakut-takutin sama peraturan dan belum lagi mitos-mitos, yah...tidak bisa disalahkan kalau generasi muda jauh memilih mempelajari kebudayaan barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar