Berawal
dari sebuah diskusi kampus tentang warisan budaya nusantara, wawasan budaya Indonesia
persisnya. Bahasan tentang tradisi dan kesenian tradisional. Waktu itu kami membahas tentang motif ornamen
gaya Surakarta. Ornamen sering diterapkan pada ukiran kayu seperti pada daun
pintu, tiang, jendela dan perabotan rumah tangga. Sepintas mata memandang motif
pada ukiran kayu tersebut tak lebih dari sebuah hiasan yang memberi nilai
tambah pada benda medianya. Namun siapa sangka, di balik wujudnya yang indah dengan lengkungan-lengkungan
lembut dan stilasi tumbuhan yang menawan menyimpan filosofi yang adiluhung.
Sebuah
buku karya Subandi B. A tentang Ornamen Nusantara menyatakan bahwa setiap bentuk
yang terdapat dalam ornamen gaya surakarta merupakan gambaran sifat dan
perilaku masyarakat Solo yang lemah lembut,
welas asih, gotong royong dan tetunya gambaran yang baik-baik. Filosofi
tersebut bukan hanya gambaran tentang warga solo namun juga sebagai pengharapan
atas ketentraman dan kedamaian bagi warga Solo. Nah...yang menjadi permasalahan
disini adalah bagaimana kita mengetahui filsofi yang terkandung di dalamnya
ketika melihat karya ornamen Surakarta ini. Bentuk apa yang mewakili semua
filosofi tersebut? Bahkan kita tida bisa mengetahui filosofi motif ketika
pertama melihat atau bahkan sebagian orang yang tidak mengetahui filosofinya
hanya menganggapnya sekedar hiasan yang memperindah sebuah arsitektur bangunan
atau perabotan, bentuk karya seni terapan atau seni hias.
Pertanyaan
selanjutnya apakah ornamen hanya milik Surakarta? Jelas tidak, di Jepara yang masih
sama-sama dari Jawa tengah pun memiliki motif ornamen yang diterapkan pada ukir
kayu, hanya saja ornamen Jepara lebih rumit dan njelimet. Akan berbeda jika dibandingkan dengan ornamen Madura,
ornamen Bali atau ornamen geometris dari suku Asmat. Bahkan ornamen tidak hanya berasal dari Indonesia. Jika dilihat dari
sejarah kemunculan ornamen, ornamen Indonesia tidak seratus persen karya orisinil.
Ornamen Indonesia juga banyak dipengaruhi dari kebudayaan china, Islam dan
Belanda semasa penjajahan.
Ornamen
disetiap wilayah tentunya memiliki fiosofi yang berbeda, namun memiliki benang
merah yang hampir sama. Kemudian filosofi tersebut diterima secara alamiah dan
diiyakan tanpa ada protes dari masyarakat.Walaupun terkadang masyarakat juga
tidak sepenuhnya begitu adanya. Begitu adanya yang dimaksud adalah, ketika ornamen surakarta dimaknai sebagai gambaran
sifat baik warga Solo, namun pada kenyataannya masyarakat Solo juga sama dengan
manusia pada umumnya. Mereka akan marah jika diusik, tidak serta merta mereka nerimo dan pasrah ketika mereka mengalami penyerangan
atau ketidak adilan. Jadi pada kenyataanya pemaknaan pada ornamen tersebut
hanya mewakili sebagian, atau bahkan hanya untuk sebuah pencitraan. Dan tampaknya
hal tersebut sudah mengkonstruksi serta menjadi sterotype dalam masyarakat.Lantas
siapa yang menciptakan filosofis-filosofis tersebut?
Awalnya
saya berfikir bagaimana pemikiran si pembuat ornamen sebelum ornamen tersebut
diinterpretasikan ke dalam berbagai pemaknaan. Hampir sama dengan proses
berkesenian saat ini. Terkadang seniman tidak serta merta menciptaan bentuk dan
stilasi dengan pemaknaan tertentu, terkadang bentuk diciptakan dari rasa
ketertarikan seniman dan ketika karya seni dipamerkan pemngamat secara
otomatatis akan melakukan interpretasi terhadap karya seni tersebut dan
penilaian terhadap karya seni itu juga beragam.
Mari
kita kembali ke ornamen Surakarta. Dilihat dari motif ornamen gaya Surakarta
bahkan karya-karya ornmen Indonesia cenderung mengambil bentuk tumbuhan yang
distilasi. Hal ini dikarenakan indonesia secara geografi terletak di negara
tropis yang kaya akan tumbuhan. Akan berbeda jika dibandingkan dengan ornamen-ornamen
yang ada di Afrika. Ornamen-ornamen di Afrika seperti di Mesir cenderung
mengambil bentuk geometis. Sekalipun ada motif tumbuhan, sangat berbeda dengan
ornamen di daerah tropis. Ornamental cenderung kurang fariatif. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya penciptaan sebuah karya seni tradisional pun
berangkat dari material pada awalnya. Meniru bentuk alam yang sudah ada,
kemudian dengan sentuhan artistik si seniman dan kreativitas tiruan dari bentuk
yang sudah ada itu menjadi sebuah karya yang memiliki nilai keindahan.
Lantas
saya kembalikan lagi, siapa yang menciptakan pemaknaan-pemaknaan tersebut? Jelas
penguasa atau kaum elit. Kaum elit di sini bukan berarti kaum kelas atas, bisa
mereka yang memiliki kendali kuasa pada suatu bidang seperti pemerintahan,
pendidikan dan lain sebagainya. Pada kenyataannya ornamen diciptakan juga untuk
kebutuhan kaum elit. Mari kita tengok bangunan keraton, balai kota atau rumah
kaum elit. Kerap kali ornamen ukiran kita jumpai pada bangunan tersebut. Entah
pada tiang, daun pintu maupun pada jendela. Sementara coba kita tengok pada
bangunan rakyat biasa yang bertembokkan bambu, kita tidak menjumpai adanya
ukiran disana.
Pada
dasarnya ornamen pada ukiran memang diprioritaskan bagi kalangan elit. Sehingga
setelah kemunculannya kaum elit seolah menciptakan pemaknaan-pemaknaan untuk
meng-adiluhungkan karya seni tersebut.
Karena kendali kuasa itulah, standart dan filosofi tersebut bisa diterima
dan seolah-olah hal tersebut berjalan secara alamiah. Seperti karya itu merupakan
wahyu yang turun dari Tuhan. Padahal jika diteliti dan dikaji ulang hal terebut
berawal dari sesatu yang sederhana. Kemudian muncullah kaum-kaum yang membuat
seolah karya seni tradisional adalah karya tuhan, lantas muncul peraturan seni
tradisi harus dibuat berdasarkam pakem dan tidak bisa dirubah bahkan sekedar untuk
dikembangkan.
Barang
kali hal ini pula yang mengakibatkan generasi muda enggan mempelajari budaya
atau kesenian lokal. Bukan karena pengaruh budaya barat yang kental, namun
ketakutan sudah muncul di awal sebelum mereka sempat mempelajari. Seni tradisi
harus begini harus begitu semetara kesenian barat lebih membebaskn untuk
melakukan pengembangan dan penciptaan sesuatu yang baru. Bukan bermaksut
membandingkan, namun tentu kita pun sadar dan tidak buta dengan kenyataan yang
ada di hadapan kita. Tradisi akan terus ada jika ada yang melestarikan, tapi
kalau belum-belum sudah ditakut-takutin sama peraturan dan belum lagi
mitos-mitos, yah...tidak bisa disalahkan kalau generasi muda jauh memilih
mempelajari kebudayaan barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar