Senin, 06 Januari 2014

“Seni Rupa Penyadaran”



Diskusi Buku
Penulis: Mulyono
Penerbit: Bentang

Mulyono adalah seorang seniman kelahiran Tulungagung Jawa Timur yang aktif dengan kegiatan keseniannya, di samping itu mulyono juga mencatat setiap pergerakan yang dilaluinya dalam beberapa tulisan yang dikumpulkan dalam buku “ Seni Rupa Penyadaran” yang diterbitkan oleh Bentang Publisher.
Tulisan dalam buku ini secara garis besar memuat cita-cita seni lukis untuk rakyat atau dalam istilah barunya demokratisasi seni. Memposisikan rakyat sebagai pelaku atau subyek bukan lagi sebagai obyek seni dan korban kebudayaan yang pasif. Persoalan seperti ini sudah muncul sejak generasi pertama seni rupa modern tahun tiga puluhan dan nampaknya masih menjadi permasalahan yang renyah sampai saat ini.
Seni rupa adalah seni yang bermanfaat bukan hanya sekedar dinikmati. Seperti yang dilakukan Mulyono di Jawa Timur dalam berbagai aktifitas kesenian yang tidak lepas dari peran masyarakat. Mulyono dalam perannya sebagai seniman bisa dikatakan sedikit berbeda. Ketika beberapa seniman memilih galeri sebagai ruang presentasi ideologinya, Mulyono lebih memilih keluar dari zona seni tinggi (fine art). Mencoba mengajak masyarakat untuk turut berkesenian dan bukan hanya menjadi obyek seninya. Oleh karena itu yang dilakukannya adalah terjun langsung ke kalangan rakyat bawah, mengajarkan bagaimana berkesenian dan salah satunya diwujukan dengan membentuk komunitas KUD (Kesenian Unit Desa).
Sering kali dijumpai dalam beberapa pameran seni rupa yang mengangkat tema-tema sosial rakyat kalangan bawah entah dalam karya patung, grafis maupun lukis. Karya-karya tersebut menggambarkan kesengsaraan dan penderitaan. Kesengsaraan yang tersaji tersebut kemudian di pamerkan dalam sebuah ruang pamer yang disebut galeri. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah kesengsaraan rakyat bawah tersebut terpresentasikan dalam ruang pamer? Adakah manfaat bagi obyek (rakyat bawah) yang diangkat dalam karya-karya tersebut? hal ini juga dibahas dalam tulisan Mulyono.
Pematangan pemahaman dalam sebuah penciptaan karya yang kerap menjadi pemasalahan, sehingga tidak jarang muncul karya-karya pengulangan. Karya pengulangan adalah karya yang mengusung satu konsep yang sama namun ditampilkan dengan visual yang berbeda. Sebagai contoh karya seniman Dede Eri Supria yang berjudul Tiga Sosok yang dibuat berseri.  Dalam prosesnya Dede mengambil beberapa potret kemudian mengkomposisikannya dalam bidang kanvas. Jika Dede ingin ada kekontrasan dia memberi kekontrasan warna dan sedikit membuat perubahan. Alhasil adalah pesona realitas, menampilkan obyek-obyek yang nyata ada namun sebenarnya tidak ada. Sesuatu yang seakan terjadi sehari-hari, namun ternyata bukan aktivitas keseharian.
Dari ulasan Mulyono tersebut memberikan pengertian bahwa dalam penciptaan karya seni bukan hanya estetika saja yang diutamakan namun kontruksi yang membangun karya tersebut. seni konseptual, bagaimana bisa melukiskan kesengsaraan rakyat bawah jika tidak terjun langsun di dalamnya? Pengertian terjun langsung di sini bukan berarti harus membaur dengan mereka, banyak alternatif yang bisa dilakukan seperti sharing, diskusi atau riset buku maupun media. Mengutip kalimat Mulyono dalam slah satu tulisannya “ pelukis adalah atena sosial, saya harap tidak hanya menjadi atena transistor satu band tetapi menjadi parabola”. Jika demikian, setiap persoalan yang diangkat akan terpahami dengan baik dan terhindar dari karya repetitif yang memiskinkan hakikat nilai seni itu sendiri.
Seni rupa penyadaran berdasarkan istilah “penyadaran” menurut pengertian Paulo Freire yaitu belajar memahami kontradiksi sosial, politik dan ekonomi serta mengambil tindakan atas unsur-unsur yang menindas realitas tersebut. Seni rupa penyadaran memposisikan masyarakat sebagai subyek bukan obyek seni rupa, tidak hanya dipandang sebagai kerja sosial namun lebih pada penghidupan hak dan ekspresi kreatif  dalam kehidupan.
Seni untuk masyarakat yang dimaksud oleh Mulyono adalah seni yang memberi kontribusi untuk masyarakat (fungsinal). Oleh karena itu dalam kumpulan tulisan Mulyono banyak membahas tentang seni instalasi. Seni instalasi muncul sejak masa Dadaisme yang merupakan perlawanan dari seni tinggi atau hight art. Karya seni yang dinikmati oleh kalangan elit. Pada masa itu muncullah karya-karya yang bisa dibilang jauh dari ranah keindahan.
 Salah satu contoh yang diambil adalah karya seniman performance asal California Suzane dengan karya instalasinya yang berjudul No Blood/No Foul yang mengangkat konflik antara polisi dan warga kulit  hitam Amerika. Instalasi terseut menggunakan lapangan basket sebagai ruang berdialog tentang solusi dari konflik tersebut. Karya instalasi Suzane tersebut dipamerkan dalam Atopic Site di Tokyo Watefront Area Tokyo International Exhibission Centre West 3, 1-25 Agustus 1996.  Acara tersebut dimulai dengan salah satu crew Suzane yang melempat bola basket ke dalam ring yang terdiri dari tiga orang kulit hitam. Mulai saat itulah lapangan basket bisa digunakan oleh siapa saja untuk srana berdialog, berkumpul dan bermain. Proses berdialog dalam karya Suzane adalah proses berdialog, proses menemukan makna dan membuka kesadaran. Instalasi tersebut membuka keleluasaan bagi penikmat yang datang untuk bersinggungan langsung dengan karya instalasinya.Sepintas ulasan karya Suzane memberikan gambaran dari pengertian seni rupa penyadaran yang Mulyono maksudkan. Seni yang memberikan dampak pada masyarakat secara langsung.(fajar hidayah)
Uraian di atas merupakan rangkuman dari hasil diskusi yang dilakukan pada Sabtu, 4 Januari 2014 di ruang multimedia gedung seni rupa murni. Selanjutnya diskusi akan dilaksanakan pada 18 Januari 2014 pukul 15.00 di ruang multimedia gedung seni rupa murni. Pada kesempatan selanjutnya forum akan membedah buku “Modern Miring” yang kumpulan tulisan.
Bagi teman-teman yang berminat, untuk penggandaan buku silahkan menghubungi Ari Wuryanto atau Fajar Nurul Hidayah.
Cp: 085649731129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar