Diskusi Buku
Penulis:
Mulyono
Penerbit:
Bentang
Mulyono
adalah seorang seniman kelahiran Tulungagung Jawa Timur yang aktif dengan
kegiatan keseniannya, di samping itu mulyono juga mencatat setiap pergerakan
yang dilaluinya dalam beberapa tulisan yang dikumpulkan dalam buku “ Seni Rupa
Penyadaran” yang diterbitkan oleh Bentang Publisher.
Tulisan
dalam buku ini secara garis besar memuat cita-cita seni lukis untuk rakyat atau
dalam istilah barunya demokratisasi seni. Memposisikan rakyat sebagai pelaku
atau subyek bukan lagi sebagai obyek seni dan korban kebudayaan yang pasif. Persoalan
seperti ini sudah muncul sejak generasi pertama seni rupa modern tahun tiga
puluhan dan nampaknya masih menjadi permasalahan yang renyah sampai saat ini.
Seni
rupa adalah seni yang bermanfaat bukan hanya sekedar dinikmati. Seperti yang
dilakukan Mulyono di Jawa Timur dalam berbagai aktifitas kesenian yang tidak
lepas dari peran masyarakat. Mulyono dalam perannya sebagai seniman bisa
dikatakan sedikit berbeda. Ketika beberapa seniman memilih galeri sebagai ruang
presentasi ideologinya, Mulyono lebih memilih keluar dari zona seni tinggi
(fine art). Mencoba mengajak masyarakat untuk turut berkesenian dan bukan hanya
menjadi obyek seninya. Oleh karena itu yang dilakukannya adalah terjun langsung
ke kalangan rakyat bawah, mengajarkan bagaimana berkesenian dan salah satunya
diwujukan dengan membentuk komunitas KUD (Kesenian Unit Desa).
Sering
kali dijumpai dalam beberapa pameran seni rupa yang mengangkat tema-tema sosial
rakyat kalangan bawah entah dalam karya patung, grafis maupun lukis. Karya-karya
tersebut menggambarkan kesengsaraan dan penderitaan. Kesengsaraan yang tersaji
tersebut kemudian di pamerkan dalam sebuah ruang pamer yang disebut galeri.
Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah kesengsaraan rakyat bawah
tersebut terpresentasikan dalam ruang pamer? Adakah manfaat bagi obyek (rakyat
bawah) yang diangkat dalam karya-karya tersebut? hal ini juga dibahas dalam
tulisan Mulyono.
Pematangan
pemahaman dalam sebuah penciptaan karya yang kerap menjadi pemasalahan,
sehingga tidak jarang muncul karya-karya pengulangan. Karya pengulangan adalah
karya yang mengusung satu konsep yang sama namun ditampilkan dengan visual yang
berbeda. Sebagai contoh karya seniman Dede Eri Supria yang berjudul Tiga Sosok
yang dibuat berseri. Dalam prosesnya
Dede mengambil beberapa potret kemudian mengkomposisikannya dalam bidang
kanvas. Jika Dede ingin ada kekontrasan dia memberi kekontrasan warna dan
sedikit membuat perubahan. Alhasil adalah pesona realitas, menampilkan
obyek-obyek yang nyata ada namun sebenarnya tidak ada. Sesuatu yang seakan
terjadi sehari-hari, namun ternyata bukan aktivitas keseharian.
Dari
ulasan Mulyono tersebut memberikan pengertian bahwa dalam penciptaan karya seni
bukan hanya estetika saja yang diutamakan namun kontruksi yang membangun karya
tersebut. seni konseptual, bagaimana bisa melukiskan kesengsaraan rakyat bawah
jika tidak terjun langsun di dalamnya? Pengertian terjun langsung di sini bukan
berarti harus membaur dengan mereka, banyak alternatif yang bisa dilakukan
seperti sharing, diskusi atau riset buku maupun media. Mengutip kalimat Mulyono
dalam slah satu tulisannya “ pelukis adalah atena sosial, saya harap tidak
hanya menjadi atena transistor satu band tetapi menjadi parabola”. Jika
demikian, setiap persoalan yang diangkat akan terpahami dengan baik dan
terhindar dari karya repetitif yang memiskinkan hakikat nilai seni itu sendiri.
Seni
rupa penyadaran berdasarkan istilah “penyadaran” menurut pengertian Paulo
Freire yaitu belajar memahami kontradiksi sosial, politik dan ekonomi serta
mengambil tindakan atas unsur-unsur yang menindas realitas tersebut. Seni rupa
penyadaran memposisikan masyarakat sebagai subyek bukan obyek seni rupa, tidak
hanya dipandang sebagai kerja sosial namun lebih pada penghidupan hak dan
ekspresi kreatif dalam kehidupan.
Seni
untuk masyarakat yang dimaksud oleh Mulyono adalah seni yang memberi kontribusi
untuk masyarakat (fungsinal). Oleh karena itu dalam kumpulan tulisan Mulyono
banyak membahas tentang seni instalasi. Seni instalasi muncul sejak masa
Dadaisme yang merupakan perlawanan dari seni tinggi atau hight art. Karya seni
yang dinikmati oleh kalangan elit. Pada masa itu muncullah karya-karya yang
bisa dibilang jauh dari ranah keindahan.
Salah satu contoh yang diambil adalah karya
seniman performance asal California Suzane dengan karya instalasinya yang
berjudul No Blood/No Foul yang mengangkat konflik antara polisi dan warga
kulit hitam Amerika. Instalasi terseut
menggunakan lapangan basket sebagai ruang berdialog tentang solusi dari konflik
tersebut. Karya instalasi Suzane tersebut dipamerkan dalam Atopic Site di Tokyo
Watefront Area Tokyo International Exhibission Centre West 3, 1-25 Agustus
1996. Acara tersebut dimulai dengan
salah satu crew Suzane yang melempat bola basket ke dalam ring yang terdiri
dari tiga orang kulit hitam. Mulai saat itulah lapangan basket bisa digunakan
oleh siapa saja untuk srana berdialog, berkumpul dan bermain. Proses berdialog
dalam karya Suzane adalah proses berdialog, proses menemukan makna dan membuka
kesadaran. Instalasi tersebut membuka keleluasaan bagi penikmat yang datang
untuk bersinggungan langsung dengan karya instalasinya.Sepintas ulasan karya
Suzane memberikan gambaran dari pengertian seni rupa penyadaran yang Mulyono
maksudkan. Seni yang memberikan dampak pada masyarakat secara langsung.(fajar hidayah)
Uraian
di atas merupakan rangkuman dari hasil diskusi yang dilakukan pada Sabtu, 4
Januari 2014 di ruang multimedia gedung seni rupa murni. Selanjutnya diskusi
akan dilaksanakan pada 18 Januari 2014 pukul 15.00 di ruang multimedia gedung
seni rupa murni. Pada kesempatan selanjutnya forum akan membedah buku “Modern
Miring” yang kumpulan tulisan.
Bagi
teman-teman yang berminat, untuk penggandaan buku silahkan menghubungi Ari
Wuryanto atau Fajar Nurul Hidayah.
Cp:
085649731129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar