Sabtu, 16 November 2013. untuk
kesekian kalinya aku dan sahabatku Nanda berkunjung ke kota pelajar Yogyakarta.
Kali ini kami sengaja naik kereta. Menikmati hiruk pikuk para penumpang. Siang
itu kereta tak begitu penuh, sehingga kami masih bisa menikmati tempat duduk.
Kami mendapat tempat yang strategis, dekat dengan jendela dan saling
berhadapan.
Banyak topik yang kami bahas
selama perjalanan, mulai dari gosip kampus, asmara yang tak kunjung berujung
sampai penumpang sebelah yang rempong. Sampai pada pertengahan perjalanan kami
mulai membisu. Dan tak lama kemudian terdengar suara yang memberitakan bahwa
kereta kami sudah sampai di stasiun Tugu, tujuan terakhir kereta Pramex yang
mengantar kami ke tujuan.
Hem....aku menarik nafas
panjang dan mencoba menikmati aroma tanah kota ini. Aroma tanah yang baru saja
disiram air hujan. Menyejukkan dan selalu membuatku rindu untuk kembali.
Kembali menikmati keramaiannya, kembali menikmati keklasikkannya, kembali
menikmati kenangan masa lalu yang kisahnya masih menggantung.
Aku dan Nanda segera melanjutkan perjalanan.
Tujuan kami adalah ke sebuah toko alat lukis yang berada di depan gedung DPRD.
Diantara keramaian dan hiruk pikuk para pedagang dan pelancong yang memenuhi
sepanjang jalan Malioboro. Seperti biasanya, kami harus melawan desakan para
pelancong dan rayuan para pedagang sepanjang perjalanan menuju toko alat lukis
itu.
“belum pernah ya jalanan sini
sepi?” tanyaku sambil menikmati senggolan bahu para pejalan kaki lain
“namanya juga tempat wisata,
wajar kalau ramai kayak gini Mal” jawabnya sambil terus berjalan melawan
kepadatan
“hem...justru ini yang selalu
membuatku kangen sama Yogya”aku tersenyum tipis
“Amal...Amal...”kata Nanda
sambil menggelengkan kepala seolah keheranan
Asik sekali perjalanan kami sore hari itu di
Yogyakarta. Berjalan dan berdesakan dengan para pelancong, melewati jalanan
becek dan para pedagang yang menjajakan jualannya, andong dan becak yang
mondar-mandir, pengamen yang mendendangkan lagu, pengemis yang menengadahkan
gelas plastik bekas pada para pembeli dan tak lupa suara radio yang mengiringi
perjalanan kami. Belum lagi rintik hujan yang mengguyur Yogya sore itu membuat
suasana seolah menjadi romantis.
“yah.....” keluhku ketika
sampai di lokasi
“baru aja tutup mbak, jam dua
tadi. Nanti kesini lagi aja sekitar jam lima” sahut salah seorang penjual
assesoris yang menjajakan dagangannya di samping toko alat lukis tersebut
“gimana Nan?atau kita cari
toko yang lain?”ajakku mencoba memberi alternatif
“nggak ah...kita tunggu sampai
jam lima aja,lagian cuacanya juga lagi nggak baik. Dua jam ngak lama kan?”
jawabnya
“ok lah...kita jalan-jalan
dulu aja sekalian ngabisin waktu”ajakku mulai semangat. Semangat jalan-jalan
dan hunting beberapa oleh-oleh.
Tas bahan rajut, tas bahan
kuli dengan ornamennya yang cantik, tas anyam yang anggun, gelang warna-warni
yang mirip permen, gelang dengan motif batik, kalung-kalung yang unik dengan
bahan kayu atau putihan, miniatur sepeda, becak, andong, baju khas Yogya,
batik, makanan khas Yogya dan sederet oleh-oleh lain yang mulai menggoda mata
dan membius jemari untuk merogoh kocek. Beberapa kali aku dan Nanda mampir ke
kios di sepanjang jalan. Melihat benda ini itu, pegang ini itu, tanya ini itu
lalu kabur tanpa berkata apa-apa sementara pedagang terus berkata “masih bisa
ditawar kok mbak”.mungkin kalau kami perempuan shopaholic kami akan berteriak
kegirangan ketika sampai pada salah satu swalayan di sana. You know why? Ada
diskon besar-bearan di sana dan kami hanya cukup melihat-lihat lalu berlalu.
Ada juga seorang pedagang yang terus saja menawakan dagangan seperti bakul obat
di pasar Klewer Solo. “Apa nggak capek ya tu mulut ngoceh mulu” kataku dalam
hati.
Ada satu barang yang membuatku
jatuh cinta, tas rajut. Nyaris aku mengeluarkan uangku untuk barang itu, namun
Nanda dengan segala argumen hematnya berhasil mengurungkan niatku untuk
melakukan pemborosan.
“menurutmu penting nggak sih
aku beli tas ini?” tanyaku seraya memegangi tas rajut itu
“kalau aku sih sebelum membeli
sesuatu aku pertimbangin dulu,barang itu nantinya sering aku pakai
nggak?bakalan match sama baju-bajuku apa nggak?baru aku beli kalau emang
penting” jawabnya dengan tatapan yang cukup dalam. Dari tatapan itu seolah aku
menangkap isyarat “hei jangan beli barang yang tidak berguna, jangan boros”
“ok”aku hanya menganggukkan
kepala dan kembali meletakkan tas rajut itu dan kembali berjalan.
Perjalanan kali ini memberiku
pelajaran untuk tidak menjadi kalangan konsumerisme. Asal jangan jadi manusia
pelit aja sih. Setelah pertemuan dengan tas rajut kami memutuskan untuk istirahat
sekalian mengisi amunisi untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami singgah
sejenak di warung nasi pinggir jalan. Sebut saja warung nasi bu Joko, lokasinya
di salah satu gang di sepanjang jalan Malioboro. Warung itu berada di antara
jajaran angkringan dan warung makan gerobak lainnya. Tempatnya bisa dibilang
kurang bersih, namun aku sudah terbiasa makan di pinggir jalan seperti ini.
Warung dengan gerobak dari
kayu, gerobaknya dipenuhi dengan panci-panci dan piring yang berisi sayur dan
lauk pauk. Ada tahu dan tempe bacem, telur kuah kare, gudheg, ikan mujair, ayam
bakar, ayam goreng, opor ayam, bergedhel kentang, cah kang kung, tumis usus,
lele dengan saus yang nampak pedas, pecel, kare, soto, lodeh dan masih banyak
lagi olahan berkolestreol yang didisplay. Hem...sengguh makanan berlemak itu
menggoda selera.
Mata ku dan Nanda saling
berkeliling menatap rentetan menu yang ditawarkan. Kami masih galau mau makan
apa, mau makan enak kocek kami langsung
bolong, mau makan sederhana tapi nafsu berkata lain. Mungkin kalau aku
akan mengambil makanan yang aku inginkan dan jelas menyesuaikan dengan kantong
namun Nanda bertindak lain. Terkadang Nanda bisa berubah menjadi alarm
pengingat agar tidak boros dan hari ini pun dia menunjukkan bakatnya.
“Nasi kangkung berapa
Bu?”tanya Nanda pada ibu pemilik warung
“empat ribu”jawap perempuan
tambun berambut cepak dengan ketus
“kalau nasi sama kering?tanya
Nanda lagi sambil menunjuk menu yang dimaksut
“sama, empat ribu juga, kalau
mau makan dua ribu di seberang sana, di angkringan itu semuanya dua ribuan”si
pemilik warung mukanya makin ditekuk, makin kecut saja seperti mangga muda.
“ok bu saya pesen nasi
kangkung, kamu apa Mal?”tanya Nanda padaku
“samain aja Nan, saya minumnya
teh anget ya Bu!” kataku
“Bu, kalau kopi anget
berapa?”Nanda bertanya lagi untuk servey harga barang kali. Terkadang sahabatku
yang satu ini memang perhitungan. Yah...tapi aku harus berterima kasih karena
dia sudah menjadi alarm pengingat ketika nafsu belanja datang.
“dua ribu lima ratus Mbak”si
ibu terlihat benar-benar masam, tampaknya mulai bosan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Nanda.
“kopi anget satu Bu”jawab
Nanda
Akhirnya kami duduk di sebuah bangku memanjang di
trotoar jalan. Saat itu kami tak banyak berdiskusi, Nanda asyik dengan
ponselnya sementara aku asyik mengamati sekeliling. Melihat segerombolan pemuda
punk yang sedang mengamen, bapak becak yang mondar-mandir mengantar penumpang,
para pelancong dan pedagang atau pun pejalan kaki lainnya. Aku termenung
beberapa saat dan mendadak aku jadi terbayang-bayang wajah sahabatku Wisnu yang
saat ini sedang berpameran di kota pahlawan Surabaya. Aku tak tahu angin apa
yang membawaku dalam lamunan ini. Aku sontak tertawa jegigikan sampai Nanda
menegurku. Bagaimana aku tak tertawa jegigikan jika melihat Wisnu memakai rok
mini dan hightheel menaiki vespa. Menjijikkan, yah mungkin aku merindukannya
setelah dia pergi meninggalkan kami selama satu minggu tanpa kabar.
Wisnu
adalah sahabatku yang paling jorok. Why?karena kalau dia lagi sibuk pameran dia
pasti jarang mandi atau bahkan nggak mandi. Alhasil ketika kamu deket sama dia
kaya deket pakean yang direndem satu minggu nggak dicuci-cuci, nafasnya seperti
nafas orang yang baru makan jengkol tanpa dimasak, warna giginya seperti biji
jagung dan rambutnya lengket seperti bulu ayam yang tak pernah disisir. Andai
saja hidupnya lebih teratur. Namun dia adalah sahabat yang menghidupkan
mimpi-mimpi yang selama ini ku pendam sendiri. Sejorok apa pun dia, tetap saja
sahabatku. Sahabat yang memuja kemalasan.
Akhirnya setelah aku terbuai
oleh lamunan yang menjijikkan itu, ibu pemilik warung dengan muka masam itu
datang membawa dua piring nasi kangkung dan dua gelas minuman. Wajah kami
langsung sumringah, seolah ingin menyerbu ibu pemilik warung tersebut.
Disela-sela aktivitas makan, kami sempat ngobrol banyak hal, mulai dari
perkuliahan, keluarga, kisah asmaraku sama Cacing yang nggak tahu mau dibawa
kemana, organisasi sosial dan masa depan. Yang terakhir itu yang paling serius.
“aku pingin beli notebook Nan,
biar bisa produktif nulis, jadi nggak harus nyimpen ide sampai di rumah. Gimana
menurutmu?”
“ya nggak papa, tapi kalau
udah beli harus produktif bener ya!”jawabnya sambil tersenyum
“pastinya, Nan kok aku ngerasa
salah jurusan ya masuk sekolah seni?makin lama aku makin muak sama pameran dan
semacemnya”aku mulai menengadahkan kepala
“nggak ada yang salah sama
jurusan, toh kita ngambil seni nggak harus nglukis kan?aku juga lebih nyaman di
sketsa. Kamu masih inget yang pernah kita obrolin sama pak Merwan kan?jalani
apa yang membuatmu nyaman dan tertarik maka kamu akan berhasil karena itu.
Fokus aja lah Mal”terang Nanda panjang lebar
“ya sih Nan, kalau kayak gini
jadi pingin cepet lulus!”celetukku
“aku malah nggak ada pikiran buat
cepet lulus, saat ini gimana caranya aku bisa mapan. Mapan secara ekonomi biar
nggak bergantung sama orang tua lagi. Sekali pun nggak dapet gelar S.Sn tapi
kalau udah mapan itu menurutku udah bisa dikatakan berhasil”katanya sambil
memegangi gelas berisi kopi hangat
“yah...mapan. kalau udah mapan
emang enak sih. Seenggaknya setelah lulus kita udah punya usaha lah, walau
kecil tapi lebih baik dari pada morotin uang bapak ibu”aku mulai lesu
membayangkan seperti apa aku di masa depan”Nan pernah kepikir nggak kita nanti
bakalan jadi apa?”tanyaku iseng
“aku pasti jadi juragan
HIK”kata Nanda mantap
Kami berdua sontak tertawa bersamaan mendengar
jawaban Nanda. Yah semoga saja kamu bisa menjadi juragan HIK, sementara aku
masih bimbang dengan jalan mana yang harus ku tempuh. Yang jelas bukan di ranah
seni rupa, apalagi profesi seorang seniman lukis. Nampaknya itu jauh dari
angan-anganku saat ini. Aku merasa murtat dari pilihan awalku. Tapi semua itu
bagian dari proses, proses yang pada akhirnya membuatku sadar dimana tempat
seharusnya aku berpijak.
Setelah selesai makan kami
kembali melanjutkan perjalanan mencari mushola untuk sholat Ashar. Setelah
berjalan memasuki gang tikus kami menjumpai mushola yang ukurannya cukup besar
yang letaknya bersebelahan dengan sebuah sekolah SMA. Sepertinya bangunan ini
baru dibangun. Lantainya masih beralaskan terpal, langit-langitnya masih belum
diplafon dan kaca jendelanya pun belum terpasang. Kami tak lama di mushola itu,
setelah selesai sholat kami langsung kembali ke toko alat lukis. Berharap toko
itu sudah dibuka.
Harapan memang tak selalu
sepaham dengan kenyataan. Seperti inilah kenyataan, pahit memang menerima
kenyataan bahwa toko alat lukis yang sudah kami tunggu selama dua jam masih
belum buka juga. Akhirnya untuk membunuh kekecewaan, aku dan Nanda jalan-jalan
ke mall dekat Malioboro. Bukan untuk berburu barang diskon atau jalan-jalan.
Aku bermaksut mencari buku yang sekiranya ku butuhkan. Di basemen aku menjumpai
tiga toko buku, kami masuk dan mulai berkeliling seolah kami adalah pemburu
yang mencari mangsa. Dari rak buku satu ke rak buku lain seperti biasa aku
selalu memakan waktu lebih lama dari Nanda untuk masalah belanja buku. Lima
belas menit setelah kami masuk toko, Nanda memutuskan untuk menungguku di luar.
Sementara aku dengan perasaan tanpa dosa terus berkeliling membaca resensi satu
persatu buku yang didisplay. Mengambil satu buku yang menarik lalu
meletakkannya lagi karena ada buku yang lebih menarik. Sampai aku menemukan dua
buku yang membuatku jatuh cinta. Kumpulan esai seni dan budaya dan buku
kumpulan artikel yang di tulis Emma Najib. Dalam situasi seperti inilah aku
selalu merasa galau. Tapi semua aku
sesuaikan dengan ketersediaan dana. Dan akhirnya aku memutuskan untuk membeli
buku yang kedua. Dengan berat hati aku pergi ke kasir hanya dengan satu buku
dan meninggalkan satu buku yang sebenarnya juga ingin ku beli. Yah dalam
situasi seperti ini lah aku dipaksa bertindak bijak.
Sepertinya aku terlalu lama
berada di toko buku, wajah Nanda tampak bosan menungguku di luar. Aku mulai
bersemangat dan kami kembali ke toko alat lukis. Ahirnya penantian kami
terbayar. Saatnya hunting cat, kuas dan perlengkapan lainnya.
Huh...langit mulai gelap,
angin malam mulai meniup mesra dan rintik hujan masih membasahi tanah Yogya.
Setelah selesai berbelanja, kami pun langsung pulang. Kembali menyusurui jalan
dan kembali ke stasiun kereta. Dan tahu kapan kereta ke Solo berangkat?masih
dua jam lagi. Lagi-lagi kami harus menunggu.
Kami duduk di sebuah kursi
dengan round table. Nanda asik dengan drawing pen dan kertas sketsanya.
Tangannya menari-nari di atas kertas putih menangkap obyek yang membuatnya
tertarik untuk digambar. Sementara aku hanya membuat coretan dan gambar tak
beraturan dalam buku catatan agendaku. Kami terhenti sejenak ketika sepasang
suami istri menghampiri kami dan duduk diantara kami. Seorang perempuan
berjilbab biru dengan postur mungil dan suaminya yang berbadan tambun dengan
kaca mata persegi yang membantu penglihatannya. Kami berbincang cukup lama.
Sang istri ternyata orang yang supel dan pandai membuka percakapan. Dan sungguh
tak diangka ternyata pasangan suami istri itu berasal dari daerah yang sama denganku.
Sama-sama dari Jawa Timur.
Waktu sudah menunjukkan delapa
lebih sepuluh, petugas stasiun pun sudah memberitakan bahwa kereta pramex akan
datang dari arah barat. Calon penumpang pun mulai mendekat ke paron kereta. Dan
ketika pintu kereta terbuka semua berebut untuk masuk sementara penumpang yang
turun belum keluar. Seperti mahasiswa lagi demo saja, mau naik kereta pakai
macet. Setelah melalui kepadatan penumpang aku dan Nanda berjalan dari gerbong
paling belakang sampai paling depan. Dan akhirnya kami harus duduk terpisah.
Bukan hal yang menyedihkan, karena kami bukan anak kecil lagi yang akan merasa
ketakutan jika berpisah dengan ibunya.
Kali ini aku mendapatkan
tempat favoritku, di samping jendela. Dalam posisi seperti itu aku bisa melihat
setiap tempat yang kulalui. Malam itu aku duduk satu bangku dengan sepasang
suami istri yang sudah lumayan sepuh, mungkin sudah kepala lima. Mereka
terlihat mesra dalam usianya. Duduk bersandingan dan saling berpegangan tangan
seolah saling menjaga. Sontak saat itu aku mulai berimajinasi, membayangkan
kalau yang berada di posisi itu adalah aku dan Cacing. Membayangkan kami menikah
dan melalui hingar bingar rumah tangga sampai kakek kakek dan nenek nenek.
Ah...lamunan yang membuatku mengingatnya lagi, membuat perasaan ini semakin
dalam. Aku mulai muak dengan pikiranku yang selalu ngelantur tatkala tak ada
aktivitas seperti yang terjadi waktu itu.
Aku mulai merogoh ranselku,
mencari buku yang baru saja ku beli. Aku mencoba mengalihkan lamunan sialan itu
dengan membaca buku. Tak terasa satu jam sudah berlalu dan keretaku sudah
sampai. Aku dan Nanda beranjak dari tempat duduk kereta dan keluar dari stasiun.
Mata kami mulai berkeliling mencari jemputan sementa bapak-bapak becak dan
sopir taksi mulai bergerumbul menawarkan jasa transportasi. Dari kejauhan aku
melihat sosok wanita berjilbab dengan postur subur duduk di atas motor matic,
yah..rupanya itu ibu Nanda dan rupa-rupanya ibu Nanda tidak sendiri, dia
ditemani oleh ayah Nanda yang masih setia dengan motor jadulnya. Nanda sontak
menghampiri mereka, begitu juga denganku. Mataku masih berkeliling mencari
dimana orang yang akan menjemputku.
Aku masih menunggu Alfin, pria
bertubuh tinggi besar dengan rambut cepak dan kumis tipis yang menggantung di
atas bibirnya. Alfin adalah anak jurusan film, kami dipertemukan oleh sebuah
organisasi mahasiswa di kampus. Temanku yang satu ini memang terlampau baik.
Selama aku mengenalnya belum pernah aku melihatnya marah. Teman yang terkadang
sering berlebihan dan sering kali bertingkah alay. Tapi aku harus berterima
kasih karena dia mau menjemputku di stasiun. Walau sebenarnya kami memang punya
urusan mendesak yang harus diselesaikan malam itu juga.
Akhir perjalananku ke Yogya
hari ini adalah aku sampai di rumah larut malam, bahkan nyaris tengah malam.
Satu-satunya aktivitas yang bisa ku lakukan setiba di rumah keduaku adalah
tepar di kasur bersamaan dengan kertas dan buku-buku yang masih berserakan
serta tak lupa dentum lagu mocca dengan volume terendah untuk mengantarku
bertamasya ke pulau kapuk.