Rabu, 20 November 2013

Cerita Menunggu Toko Dibuka





Sabtu, 16 November 2013. untuk kesekian kalinya aku dan sahabatku Nanda berkunjung ke kota pelajar Yogyakarta. Kali ini kami sengaja naik kereta. Menikmati hiruk pikuk para penumpang. Siang itu kereta tak begitu penuh, sehingga kami masih bisa menikmati tempat duduk. Kami mendapat tempat yang strategis, dekat dengan jendela dan saling berhadapan.
Banyak topik yang kami bahas selama perjalanan, mulai dari gosip kampus, asmara yang tak kunjung berujung sampai penumpang sebelah yang rempong. Sampai pada pertengahan perjalanan kami mulai membisu. Dan tak lama kemudian terdengar suara yang memberitakan bahwa kereta kami sudah sampai di stasiun Tugu, tujuan terakhir kereta Pramex yang mengantar kami ke tujuan.
Hem....aku menarik nafas panjang dan mencoba menikmati aroma tanah kota ini. Aroma tanah yang baru saja disiram air hujan. Menyejukkan dan selalu membuatku rindu untuk kembali. Kembali menikmati keramaiannya, kembali menikmati keklasikkannya, kembali menikmati kenangan masa lalu yang kisahnya masih menggantung.
 Aku dan Nanda segera melanjutkan perjalanan. Tujuan kami adalah ke sebuah toko alat lukis yang berada di depan gedung DPRD. Diantara keramaian dan hiruk pikuk para pedagang dan pelancong yang memenuhi sepanjang jalan Malioboro. Seperti biasanya, kami harus melawan desakan para pelancong dan rayuan para pedagang sepanjang perjalanan menuju toko alat lukis itu.
“belum pernah ya jalanan sini sepi?” tanyaku sambil menikmati senggolan bahu para pejalan kaki lain
“namanya juga tempat wisata, wajar kalau ramai kayak gini Mal” jawabnya sambil terus berjalan melawan kepadatan
“hem...justru ini yang selalu membuatku kangen sama Yogya”aku tersenyum tipis
“Amal...Amal...”kata Nanda sambil menggelengkan kepala seolah keheranan
Asik sekali perjalanan kami sore hari itu di Yogyakarta. Berjalan dan berdesakan dengan para pelancong, melewati jalanan becek dan para pedagang yang menjajakan jualannya, andong dan becak yang mondar-mandir, pengamen yang mendendangkan lagu, pengemis yang menengadahkan gelas plastik bekas pada para pembeli dan tak lupa suara radio yang mengiringi perjalanan kami. Belum lagi rintik hujan yang mengguyur Yogya sore itu membuat suasana seolah menjadi romantis.
“yah.....” keluhku ketika sampai di lokasi
“baru aja tutup mbak, jam dua tadi. Nanti kesini lagi aja sekitar jam lima” sahut salah seorang penjual assesoris yang menjajakan dagangannya di samping toko alat lukis tersebut
“gimana Nan?atau kita cari toko yang lain?”ajakku mencoba memberi alternatif
“nggak ah...kita tunggu sampai jam lima aja,lagian cuacanya juga lagi nggak baik. Dua jam ngak lama kan?” jawabnya
“ok lah...kita jalan-jalan dulu aja sekalian ngabisin waktu”ajakku mulai semangat. Semangat jalan-jalan dan hunting beberapa oleh-oleh.
Tas bahan rajut, tas bahan kuli dengan ornamennya yang cantik, tas anyam yang anggun, gelang warna-warni yang mirip permen, gelang dengan motif batik, kalung-kalung yang unik dengan bahan kayu atau putihan, miniatur sepeda, becak, andong, baju khas Yogya, batik, makanan khas Yogya dan sederet oleh-oleh lain yang mulai menggoda mata dan membius jemari untuk merogoh kocek. Beberapa kali aku dan Nanda mampir ke kios di sepanjang jalan. Melihat benda ini itu, pegang ini itu, tanya ini itu lalu kabur tanpa berkata apa-apa sementara pedagang terus berkata “masih bisa ditawar kok mbak”.mungkin kalau kami perempuan shopaholic kami akan berteriak kegirangan ketika sampai pada salah satu swalayan di sana. You know why? Ada diskon besar-bearan di sana dan kami hanya cukup melihat-lihat lalu berlalu. Ada juga seorang pedagang yang terus saja menawakan dagangan seperti bakul obat di pasar Klewer Solo. “Apa nggak capek ya tu mulut ngoceh mulu” kataku dalam hati.
Ada satu barang yang membuatku jatuh cinta, tas rajut. Nyaris aku mengeluarkan uangku untuk barang itu, namun Nanda dengan segala argumen hematnya berhasil mengurungkan niatku untuk melakukan pemborosan.
“menurutmu penting nggak sih aku beli tas ini?” tanyaku seraya memegangi tas rajut itu
“kalau aku sih sebelum membeli sesuatu aku pertimbangin dulu,barang itu nantinya sering aku pakai nggak?bakalan match sama baju-bajuku apa nggak?baru aku beli kalau emang penting” jawabnya dengan tatapan yang cukup dalam. Dari tatapan itu seolah aku menangkap isyarat “hei jangan beli barang yang tidak berguna, jangan boros”
“ok”aku hanya menganggukkan kepala dan kembali meletakkan tas rajut itu dan kembali berjalan.
Perjalanan kali ini memberiku pelajaran untuk tidak menjadi kalangan konsumerisme. Asal jangan jadi manusia pelit aja sih. Setelah pertemuan dengan tas rajut kami memutuskan untuk istirahat sekalian mengisi amunisi untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami singgah sejenak di warung nasi pinggir jalan. Sebut saja warung nasi bu Joko, lokasinya di salah satu gang di sepanjang jalan Malioboro. Warung itu berada di antara jajaran angkringan dan warung makan gerobak lainnya. Tempatnya bisa dibilang kurang bersih, namun aku sudah terbiasa makan di pinggir jalan seperti ini.
Warung dengan gerobak dari kayu, gerobaknya dipenuhi dengan panci-panci dan piring yang berisi sayur dan lauk pauk. Ada tahu dan tempe bacem, telur kuah kare, gudheg, ikan mujair, ayam bakar, ayam goreng, opor ayam, bergedhel kentang, cah kang kung, tumis usus, lele dengan saus yang nampak pedas, pecel, kare, soto, lodeh dan masih banyak lagi olahan berkolestreol yang didisplay. Hem...sengguh makanan berlemak itu menggoda selera.
Mata ku dan Nanda saling berkeliling menatap rentetan menu yang ditawarkan. Kami masih galau mau makan apa, mau makan enak kocek kami langsung  bolong, mau makan sederhana tapi nafsu berkata lain. Mungkin kalau aku akan mengambil makanan yang aku inginkan dan jelas menyesuaikan dengan kantong namun Nanda bertindak lain. Terkadang Nanda bisa berubah menjadi alarm pengingat agar tidak boros dan hari ini pun dia menunjukkan bakatnya.
“Nasi kangkung berapa Bu?”tanya Nanda pada ibu pemilik warung
“empat ribu”jawap perempuan tambun berambut cepak dengan ketus
“kalau nasi sama kering?tanya Nanda lagi sambil menunjuk menu yang dimaksut
“sama, empat ribu juga, kalau mau makan dua ribu di seberang sana, di angkringan itu semuanya dua ribuan”si pemilik warung mukanya makin ditekuk, makin kecut saja seperti mangga muda.
“ok bu saya pesen nasi kangkung, kamu apa Mal?”tanya Nanda padaku
“samain aja Nan, saya minumnya teh anget ya Bu!” kataku
“Bu, kalau kopi anget berapa?”Nanda bertanya lagi untuk servey harga barang kali. Terkadang sahabatku yang satu ini memang perhitungan. Yah...tapi aku harus berterima kasih karena dia sudah menjadi alarm pengingat ketika nafsu belanja datang.
“dua ribu lima ratus Mbak”si ibu terlihat benar-benar masam, tampaknya mulai bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Nanda.
“kopi anget satu Bu”jawab Nanda
Akhirnya kami duduk di sebuah bangku memanjang di trotoar jalan. Saat itu kami tak banyak berdiskusi, Nanda asyik dengan ponselnya sementara aku asyik mengamati sekeliling. Melihat segerombolan pemuda punk yang sedang mengamen, bapak becak yang mondar-mandir mengantar penumpang, para pelancong dan pedagang atau pun pejalan kaki lainnya. Aku termenung beberapa saat dan mendadak aku jadi terbayang-bayang wajah sahabatku Wisnu yang saat ini sedang berpameran di kota pahlawan Surabaya. Aku tak tahu angin apa yang membawaku dalam lamunan ini. Aku sontak tertawa jegigikan sampai Nanda menegurku. Bagaimana aku tak tertawa jegigikan jika melihat Wisnu memakai rok mini dan hightheel menaiki vespa. Menjijikkan, yah mungkin aku merindukannya setelah dia pergi meninggalkan kami selama satu minggu tanpa kabar.
  Wisnu adalah sahabatku yang paling jorok. Why?karena kalau dia lagi sibuk pameran dia pasti jarang mandi atau bahkan nggak mandi. Alhasil ketika kamu deket sama dia kaya deket pakean yang direndem satu minggu nggak dicuci-cuci, nafasnya seperti nafas orang yang baru makan jengkol tanpa dimasak, warna giginya seperti biji jagung dan rambutnya lengket seperti bulu ayam yang tak pernah disisir. Andai saja hidupnya lebih teratur. Namun dia adalah sahabat yang menghidupkan mimpi-mimpi yang selama ini ku pendam sendiri. Sejorok apa pun dia, tetap saja sahabatku. Sahabat yang memuja kemalasan.
Akhirnya setelah aku terbuai oleh lamunan yang menjijikkan itu, ibu pemilik warung dengan muka masam itu datang membawa dua piring nasi kangkung dan dua gelas minuman. Wajah kami langsung sumringah, seolah ingin menyerbu ibu pemilik warung tersebut. Disela-sela aktivitas makan, kami sempat ngobrol banyak hal, mulai dari perkuliahan, keluarga, kisah asmaraku sama Cacing yang nggak tahu mau dibawa kemana, organisasi sosial dan masa depan. Yang terakhir itu yang paling serius.
“aku pingin beli notebook Nan, biar bisa produktif nulis, jadi nggak harus nyimpen ide sampai di rumah. Gimana menurutmu?”
“ya nggak papa, tapi kalau udah beli harus produktif bener ya!”jawabnya sambil tersenyum
“pastinya, Nan kok aku ngerasa salah jurusan ya masuk sekolah seni?makin lama aku makin muak sama pameran dan semacemnya”aku mulai menengadahkan kepala
“nggak ada yang salah sama jurusan, toh kita ngambil seni nggak harus nglukis kan?aku juga lebih nyaman di sketsa. Kamu masih inget yang pernah kita obrolin sama pak Merwan kan?jalani apa yang membuatmu nyaman dan tertarik maka kamu akan berhasil karena itu. Fokus aja lah Mal”terang Nanda panjang lebar
“ya sih Nan, kalau kayak gini jadi pingin cepet lulus!”celetukku
“aku malah nggak ada pikiran buat cepet lulus, saat ini gimana caranya aku bisa mapan. Mapan secara ekonomi biar nggak bergantung sama orang tua lagi. Sekali pun nggak dapet gelar S.Sn tapi kalau udah mapan itu menurutku udah bisa dikatakan berhasil”katanya sambil memegangi gelas berisi kopi hangat
“yah...mapan. kalau udah mapan emang enak sih. Seenggaknya setelah lulus kita udah punya usaha lah, walau kecil tapi lebih baik dari pada morotin uang bapak ibu”aku mulai lesu membayangkan seperti apa aku di masa depan”Nan pernah kepikir nggak kita nanti bakalan jadi apa?”tanyaku iseng
“aku pasti jadi juragan HIK”kata Nanda mantap
Kami berdua sontak tertawa bersamaan mendengar jawaban Nanda. Yah semoga saja kamu bisa menjadi juragan HIK, sementara aku masih bimbang dengan jalan mana yang harus ku tempuh. Yang jelas bukan di ranah seni rupa, apalagi profesi seorang seniman lukis. Nampaknya itu jauh dari angan-anganku saat ini. Aku merasa murtat dari pilihan awalku. Tapi semua itu bagian dari proses, proses yang pada akhirnya membuatku sadar dimana tempat seharusnya aku berpijak.
Setelah selesai makan kami kembali melanjutkan perjalanan mencari mushola untuk sholat Ashar. Setelah berjalan memasuki gang tikus kami menjumpai mushola yang ukurannya cukup besar yang letaknya bersebelahan dengan sebuah sekolah SMA. Sepertinya bangunan ini baru dibangun. Lantainya masih beralaskan terpal, langit-langitnya masih belum diplafon dan kaca jendelanya pun belum terpasang. Kami tak lama di mushola itu, setelah selesai sholat kami langsung kembali ke toko alat lukis. Berharap toko itu sudah dibuka.
Harapan memang tak selalu sepaham dengan kenyataan. Seperti inilah kenyataan, pahit memang menerima kenyataan bahwa toko alat lukis yang sudah kami tunggu selama dua jam masih belum buka juga. Akhirnya untuk membunuh kekecewaan, aku dan Nanda jalan-jalan ke mall dekat Malioboro. Bukan untuk berburu barang diskon atau jalan-jalan. Aku bermaksut mencari buku yang sekiranya ku butuhkan. Di basemen aku menjumpai tiga toko buku, kami masuk dan mulai berkeliling seolah kami adalah pemburu yang mencari mangsa. Dari rak buku satu ke rak buku lain seperti biasa aku selalu memakan waktu lebih lama dari Nanda untuk masalah belanja buku. Lima belas menit setelah kami masuk toko, Nanda memutuskan untuk menungguku di luar. Sementara aku dengan perasaan tanpa dosa terus berkeliling membaca resensi satu persatu buku yang didisplay. Mengambil satu buku yang menarik lalu meletakkannya lagi karena ada buku yang lebih menarik. Sampai aku menemukan dua buku yang membuatku jatuh cinta. Kumpulan esai seni dan budaya dan buku kumpulan artikel yang di tulis Emma Najib. Dalam situasi seperti inilah aku selalu merasa  galau. Tapi semua aku sesuaikan dengan ketersediaan dana. Dan akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku yang kedua. Dengan berat hati aku pergi ke kasir hanya dengan satu buku dan meninggalkan satu buku yang sebenarnya juga ingin ku beli. Yah dalam situasi seperti ini lah aku dipaksa bertindak bijak.
Sepertinya aku terlalu lama berada di toko buku, wajah Nanda tampak bosan menungguku di luar. Aku mulai bersemangat dan kami kembali ke toko alat lukis. Ahirnya penantian kami terbayar. Saatnya hunting cat, kuas dan perlengkapan lainnya.
Huh...langit mulai gelap, angin malam mulai meniup mesra dan rintik hujan masih membasahi tanah Yogya. Setelah selesai berbelanja, kami pun langsung pulang. Kembali menyusurui jalan dan kembali ke stasiun kereta. Dan tahu kapan kereta ke Solo berangkat?masih dua jam lagi. Lagi-lagi kami harus menunggu.
Kami duduk di sebuah kursi dengan round table. Nanda asik dengan drawing pen dan kertas sketsanya. Tangannya menari-nari di atas kertas putih menangkap obyek yang membuatnya tertarik untuk digambar. Sementara aku hanya membuat coretan dan gambar tak beraturan dalam buku catatan agendaku. Kami terhenti sejenak ketika sepasang suami istri menghampiri kami dan duduk diantara kami. Seorang perempuan berjilbab biru dengan postur mungil dan suaminya yang berbadan tambun dengan kaca mata persegi yang membantu penglihatannya. Kami berbincang cukup lama. Sang istri ternyata orang yang supel dan pandai membuka percakapan. Dan sungguh tak diangka ternyata pasangan suami istri itu berasal dari daerah yang sama denganku. Sama-sama dari Jawa Timur.
Waktu sudah menunjukkan delapa lebih sepuluh, petugas stasiun pun sudah memberitakan bahwa kereta pramex akan datang dari arah barat. Calon penumpang pun mulai mendekat ke paron kereta. Dan ketika pintu kereta terbuka semua berebut untuk masuk sementara penumpang yang turun belum keluar. Seperti mahasiswa lagi demo saja, mau naik kereta pakai macet. Setelah melalui kepadatan penumpang aku dan Nanda berjalan dari gerbong paling belakang sampai paling depan. Dan akhirnya kami harus duduk terpisah. Bukan hal yang menyedihkan, karena kami bukan anak kecil lagi yang akan merasa ketakutan jika berpisah dengan ibunya.
Kali ini aku mendapatkan tempat favoritku, di samping jendela. Dalam posisi seperti itu aku bisa melihat setiap tempat yang kulalui. Malam itu aku duduk satu bangku dengan sepasang suami istri yang sudah lumayan sepuh, mungkin sudah kepala lima. Mereka terlihat mesra dalam usianya. Duduk bersandingan dan saling berpegangan tangan seolah saling menjaga. Sontak saat itu aku mulai berimajinasi, membayangkan kalau yang berada di posisi itu adalah aku dan Cacing. Membayangkan kami menikah dan melalui hingar bingar rumah tangga sampai kakek kakek dan nenek nenek. Ah...lamunan yang membuatku mengingatnya lagi, membuat perasaan ini semakin dalam. Aku mulai muak dengan pikiranku yang selalu ngelantur tatkala tak ada aktivitas seperti yang terjadi waktu itu.
Aku mulai merogoh ranselku, mencari buku yang baru saja ku beli. Aku mencoba mengalihkan lamunan sialan itu dengan membaca buku. Tak terasa satu jam sudah berlalu dan keretaku sudah sampai. Aku dan Nanda beranjak dari tempat duduk kereta dan keluar dari stasiun. Mata kami mulai berkeliling mencari jemputan sementa bapak-bapak becak dan sopir taksi mulai bergerumbul menawarkan jasa transportasi. Dari kejauhan aku melihat sosok wanita berjilbab dengan postur subur duduk di atas motor matic, yah..rupanya itu ibu Nanda dan rupa-rupanya ibu Nanda tidak sendiri, dia ditemani oleh ayah Nanda yang masih setia dengan motor jadulnya. Nanda sontak menghampiri mereka, begitu juga denganku. Mataku masih berkeliling mencari dimana orang yang akan menjemputku.
Aku masih menunggu Alfin, pria bertubuh tinggi besar dengan rambut cepak dan kumis tipis yang menggantung di atas bibirnya. Alfin adalah anak jurusan film, kami dipertemukan oleh sebuah organisasi mahasiswa di kampus. Temanku yang satu ini memang terlampau baik. Selama aku mengenalnya belum pernah aku melihatnya marah. Teman yang terkadang sering berlebihan dan sering kali bertingkah alay. Tapi aku harus berterima kasih karena dia mau menjemputku di stasiun. Walau sebenarnya kami memang punya urusan mendesak yang harus diselesaikan malam itu juga.
Akhir perjalananku ke Yogya hari ini adalah aku sampai di rumah larut malam, bahkan nyaris tengah malam. Satu-satunya aktivitas yang bisa ku lakukan setiba di rumah keduaku adalah tepar di kasur bersamaan dengan kertas dan buku-buku yang masih berserakan serta tak lupa dentum lagu mocca dengan volume terendah untuk mengantarku bertamasya ke pulau kapuk.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar