Sabtu, 10 Mei 2014

Primadona pada Pameran Seni Rupa



Primadona pada Pameran Seni Rupa

Seperti pameran seni rupa pada umumnya, pembukaan selalu menjadi primadona. Dihadiri banyak orang, mendapat banyak sambutan, semua panitia pelaksana tersenyum riang menyaksikan buah kerja dari kerja keras mereka berhari-hari dan pada pembukaan pula galery seolah dihidupkan oleh keramaian pengunjung yang datang.
Hal itu pula yang  dialami ketika menghadiri sebuah pembukaan pameran seni rupa pada 16 Desember 2013 yang diadakan oleh jurusan seni rupa murni ISI Surakarta di UPT Galeri ISI Surakarta. Mengangkat judul Decade “The Journey of Story and History”. Pameran tersebut dihelat untuk memperingati sepuluh tahun jurusan tersebut di ISI Surakarta.
Malam itu acara berlangsung sangat meriah, dihadiri oleh beberapa pejabat dan dibuka oleh rektor ISI Surakarta. Tidak hanya dibuka oleh rektor, setelah pameran dibuka, pengunjung yang datang disuguhi oleh penampilan musik percution dari radjiman dan the latar jembar. Walaupun malam itu hujan sempat turun dan pemukaan sempat mundur beberapa menit namun tidak menghalangi pengunjung untuk datang dan mengapresiasi karya seni yang dipamerkan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang nyaris mencapai 100 orang malam itu.
Pembukaan pameran memang selalu menjadi primadona, seperti halnya malam pembukaan pameran Decade. Lalu bagaimana dengan hari berikutnya, pameran pada jadwal berlangsung sampai dengan tanggal 21 Desember 2013. Namun sehari setelah pembukaan berlangsung tepatnya selasa 17 Desember 2013 ada dua mahasiswa luar kampus hendak datang menyasikan pameran, namun sayang mereka tidak bisa masuk dan mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan. Malam itu sekitar pukul delapan malam mereka tiba di galeri ISI Surakarta namun kondisi galeri sepi dan tak ada satu orang panitia bahkan petugas keamanan yang menjaga. Mungkin karena menggunakan fasilitas kampus sehingga terbatas waktu, namun setelah dicros check pada ketua panitia memang tidak ada yang ditugaskan untuk menjaga galeri pada hari itu.
 Hari berikutnya pun galeri masih sepi tanpa penjagaan. Lantas bagaimana dengan keamanan material yang digunakan dalam pameran seperti materi instalasi dan karya-karya yang didisplay. Miris memang ketika pada malam pembukaan pameran semua bersenang-senang dan keesokan harinya galery beserta karya-karyanya menjadi selir yang jarang dijamah. Pembukaan memang masih menjadi primadona dan hari berikutnya seolah menjadi penting nggak penting. Namun akan bebeda ketika pameran dilakukan di luar kampus, misal saja di Galeri Taman Budaya Jawa Tengah, masih ada segelintir panitia yang menjaga katalog dan buku tamu. Setidaknya hal itu sudah memanusiakan karya-karya yang dipamerkan dari pada hanya sekedar di pajang lalu menunggu jadwal penurunan karya. Kenapa bisa berbeda ketika dilakukan di lokasi yang tak sama?
Menejemen seni nampaknya masih mejadi permasalahan dalam berkegiatan. Dan entah kenapa seringnya permasalahan justru datang dari internal, sehingga kerap kali terlihat kurang adanya kesiapan yang matang. (fajar hidayah)

Selasa, 25 Maret 2014

Beda Tapi Sama “Pertemuan dalam Pengulangan”


Jum’at, 21 Maret 2014 bertempat di galeri ISI Surakarta kampus II, telah berlangsung pembukaan pameran seni rupa yang diadakan oleh mahasiswa jurusan seni rupa murni. Pameran tersebut berlangsung selama tiga hari sampai tanggal 23 Maret.
Pameran yang mengangkat judul “Beda Tapi Sama” ini memamerkan sekitar enam puluh karya seni lukis dan dua karya instalasi. Pameran tersebut diikuti oleh sembilan mahasiswa mulai dari angkatan 2003 sampai 2011 yang sama-sama menempuh mata kuliah seni lukis karena keharusan untuk mengulang ketidak sempurnaan di semester yang lalu.
Awal tercetusnya gagasan untuk berpameran bersama ini dikarenakan seluruh anggota sama-sama mengulang mata kuliah seni lukis dan belajar bersama dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Hal tersebut adalah mmen yang jarang sekali terjadi, sekelompok mahasiswa dari angkatan tertua sampai 2011 belajar bersama karena alasan yang sama (mengulang mata kuliah yang tidak lulus).
Proses persiapan pameran sampai hari H sendiri tak banyak memakan waktu. untuk persiapan pameran sekitar satu  bulan sedangkan untuk proses penciptaan karya sendiri membutuhkan waktu empat bulan terhitung masa aktif perkuliahan. Semua karya yang dipamerkan merupakan buah eksplorasi selama menempuh mata kuliah seni lukis di semester ganjil kemarin.
Pameran Beda Tapi Sama tergolong sukses, terlihat dari banyaknya apresiator yang harir pada malam pembukaan dan hari-hari berikutnya. Antusias erhadap karya-karya-karya yang dipamerkan tentu juga memberi nilai plus pada pameran mahasiswa seni  rupa murni sendiri. Namun yang sering menjadi kendala memang lokasi ruang pamer yang masih sulit unukaksesnya dan tergolong kuang strategis.
“keren mbak pamerannya, kalau ada selebarannya sih pasti kita dateng, tapi kadang mau masuk ke Galeri nyampek gerbang depan sering ragu soalnya sepi banget” kata salah seorang pengunjung yang merupakan mahasiswi jurusan Etnomusikologi.

Kegiatan pameran merupakan sebuah ajang pmbuktian atau presentasi hasil kerja selama proses belajar. Karya-karya dipamerkan untuk diapresiasi dan dipublikasikan. Memalalui kegiatan pameran Beda Tapi Sama diharapkan mampu memoivasi mahasiswa-mahasiswa lain baik dari jurusan seni rupa murni maupun jurusan lain di  Fakulas Seni Rupa dan Desain demikian tutur Dra. Hj. Sunarmi, M.Hum ketika memberi sambutan sekaligus membukapameran.
doc. Fajar Hidayah

Senin, 24 Maret 2014

“Red Apple” Cinta atau Hasrat (Birahi)

Di Gedung Seni Rupa Murni pada lobby lantai satu dan dua  di samping kiri dan kanan tergantung karya-karya lukis dosen dan mahasiswa alumni. Ada yang bertemakan politik, sosial bahkan permasalahan pribadi dan paling mendasar ada pula karya yang abstrak dan tak bisa dibaca bentuknya. Karya-karya itu hadir dengan membawa sekumpulan simbol dan pesan yang dikomposisikan dalam sebuah ruang (kanvas).
Salah satu karya yang mengusik perhatian dari sekian banyak karya yang tergantung di dinding lobby itu adalah sebuah lukisan berukuran 200x150 cm bermediakan cat minyak di atas kanvas karya Arisno Efendi yang berjudul Red Apple.
Saya akan coba memberi gambaran tentang lukisan Red Apple karya Arisno Efendi. Tiga apel merah segar dengan butir-butir air yang menggairahkan berjajar rapi seolah berbaris, namun disususun dengan irama yang menarik dengan komposisi semakin mengecil ke belakang menjadi interest pertama saat mengapresiasi karya Arisno. Namun bukan apel yang membuat karya ini menarik, aneka bentuk yang dimunculkan Arisno dalam bentuk apel itu membuatnya menjadi surealis. Apel pertama, apel dengan ukuran paling besar yang diposisikan di depan dengan bentuk bibir-bibir merah merekah dan bentuk dua hati yang terbentuk dari hasil kilauan apel, serta asap yang menyerupai bentuk tengkorak yang muncul dari batang apel. Apel berbentuk sedang yang berada di samping belakang apel besar masih dengan batang yang memunculkan asap namun tanpa wujud tengkorak serta dari permukaan apel dihadirkan wajah manusia dengan mata terpejam. Apel terakhir dan terkecil pada posisi paling belakang digambarkan tetap murni dengan kesegarannya tanpa menambahkan bentuk apapun pada permukaan apel namun masih dengan batang yang terbakar. Tak hanya bentuk apel yang menjadi pusat perhatian, namun kemelut awan-awan dengan warna putih kekuningan dan nuansa kelam tanpa warna yang gelap belum lagi kehadiran telinga-telinga yang tidak tergambar pada tempatnya. Telinga-telinga yang bergabung dengan awan-awan yang seolah menyelimuti. Semua bentuk yang dideskripsikan di atas digambarkan secara realis oleh Arisno sehingga semua bentuk dapat terbaca dengan jelas (visual). Dari sekian banyak bentuk yang menonjol bahkan apel yang seolah menjadi centre of interest pun menurut saya adalah bagian pendukung yang digunakan untuk menjelaskan main point yang diangkat oleh Arisno dalam karya lukisnya. Poin utama pada lukisan Red Apple menurut saya adalah anomali yang disamarkan oleh pelukis. Bentuk lain yang bukan repetisi dan amat kontras namun samar. Bentuk awan berwarna hitam transparan namun nampak kelam berbentuk hati. Awan hitam itulah yang menurut saya dijadikan point utama pada lukisan Red Apple.
Sebuah karya ketika dia sudah jadi dan dipamerkan pada kalayak, peran seniman sudah mati dan apresiator memiliki kebebasan untuk membaca karya tersebut sesuai dengan interpretasinya sendiri. Dalam posisi ini karyalah yang berbicara bukan seniman lagi.
Red Apple adalah perwakilan dari permasalahan pribadi yang dialami oleh pelukis. Suara buku harian dari Arisno Efendi yang dituangkan dalam bidang kanvas. Permasalahan tentang cinta memang paling sering muncul dalam tema penciptaan pada mahasiswa bahkan seniman senior. Percintaan sendiri bukan berarti perkara remeh temeh, tergantung dari kecerdasan pelukis mengolah konsep dan visual pada kanvas serta kedalaman pemahaman tentang tema yang diangkat.
Apel yang dimunculkan merupakan perwakilan dari hasrat manusia seperti pengibaratan apel sebagai buah quldi yang karenanya Adam dan Hawa diturunkan Tuhan ke bumi. Apel pertama yang berukuran paling besar dengan bibir-bibir merah merekah menggambarkan hasrat yang cukup kuat tentang sexsualitas. Bibir disini mewakili sensualitas perempuan. Seperti nafsu atau hasrat beberapa laki laki pada perempuan yang cenderung hanya pada pemuasan hubungan sexsualitas. Dua lambang hati yang hadir dari kilau apel adalah jalinan hubungan pasangan yang masuk (bagian) dalam hasrat sexsualitas tersebut. Menjalin hubungan bukan didasari rasa melengkapi dan keseriusan, namun hanya sekedar pemuas nafsu. Namun bisa saja lukisan ini bercerita bahwa cinta adalah manusia itu sendiri dan pada hakikatnya cinta itu adalah birahi, sex yang tujuannya adalah untuk meneruskan darah keturunan. Nafsu tersebut pada akhirnya memberi dampak pada sebuah keburukan, kehancuran dan bisa jadi pada kemakmuran dan kebaikan. Tidak selamanya hasrat sexualitas dalam sebuah hubungan itu berkonotasi buruk. Pesan ini disampaikan melalui asap yang keluar dari batang apel. Hasrat yang terlalu besar pada sexsualitas sebuah hubungan itu ibarat api yang mengeluarkan asap. Asap sebagai akibat dari perbuatan. Simbol tengkorak yang muncul cukup cerdas dipilih pelukis dalam mewakili dampak dari  hasrat tersebut. Tengkorak memiliki dua arti, mayoritas masyarakat kita mendefinisikan simbol tengkorak sebagai simbol dari keburukan.  Layaknya racun tikus yang bisa membunuh siapa saja yang meminumnya, namun untuk suku dayak di Kalimantan, tengkorak sendiri merupakan simbol kemakmuran karena iru dahulu masyarakat dayak melakukan perburuan kepala untuk diambil tengkoraknya yang konon mampu menjaga kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sukunya. Jika dikomparasikan dengan karya Red Apple, asap dengan wajah tengkorak merupakan kemakmuran dari dampak hasrat sexualitas pasangan dalam balutan cinta (birahi) itu sendiri. Kenapa makmur? Karena dari aktivitas tersebut manusia dapat berkembang biak dan meneruskan keturunan, sebuah keluarga merasa bahagia ketika dikaruniai keturunan dan sejahtera yang dimaksut adalah adanya keturunan yang akan menjadi penerus dari manusia sebelumnya.
Apel berikutnya dengan ukurang yang lebih kecil dengan wajah manusia yang memejamkan mata lebih menyerupai aktivitas perenungan. Atau lebih pada kesepian dan pilih menutup mata pada realita disekeliling. Tenggelam dalam hasrat itu sendiri, mungkin ini bukan kritik namun gambaran diri pelukis menanggapi gejala percintaan dan menanggapi kesendiriannya.
Apel terakhir, apel terkecil diantara keduanya yang polos tanpa tambahan apapun hanya asap pada batang. Sederhananya apel terakhir ini menggambarkan hasrat yang masih dalam kadar wajar atau mungkin keberadaannya hanya sebagai pelengkap untuk komposisi visual.
Deretan repetisi apel yang semakin kebelakang semakin mengecil ini seperti sebuah permasalahan ketika sebuah nafsu atau hasrat yang kecil atau dalam batas wajar terus menerus dibakar semakin lama akan semakin menjadi dan memberi dampak buruk pada manusia itu sendiri.
Bukan hanya apel symbol dan pesan yang Nampak dari lukisan Red apple tersebut. Gerombolan telinga yang terpasang tidak pada tempatnya itu seolah memiliki pesan terembunyi. Dari sini saya jadi menangkap hasrat yang dilukiskan dalam bidang dua dimensi ini lebih pada pergaulan remaja. Romansa percintaan manusia ababil pemuja nafsu. Telinga merupakan salah satu indra pendengar yang mampu menangkap getaran suara. Itu artinya telinga adalah media manusia untuk mrnangkan informasi atau omongan  manusia lain (informasi audio). Telinga yang diselimuti awan-awan menggambarkan bahwa permasalahan yang digambarkan melalui symbol apel dan segala bentuk yang dimunculkan di dalamnya sebenarnya sudah sering didengar oleh banyak orang namun posisi apel pada awan seperti memberi isyarat bahwa permasalahan itu hanya ada di angan-angan yang melayang-layang di awang-awang, tidak ada tindakan untuk menindak lanjuti pergaulan remaja yang sudah terlampau batas yang cenderung memuja hawa nafsu dan bahkan sampai dengan mudahnya menjalin hubungan hanya untuk pemenuhan hasrat sexsualitas semata.
Symbol terakhir yang mampu saya baca, simbol yang samar-samar nampak sekaligus menjadi pembeda dari sekian repetisi yan dibuat oleh Arisno. Sekumpulan awan tipis yang dilukis secara transparan dengan warna yang sedikit gelap dibandingkan dengan warna-warna yang lain yang bentuknya menyerupai hati. Anomaly inilah yang menurut saya point dari karya lukis Red apple. Cinta dengan warna gelap, mewakili pesan yang ingin disampaikan pelukis bahwa cinta adalah kerumitan dan bias jadi cinta yang semacam itu adalah kesakitan. Kesakitan diwakili oleh warna gelap. Cinta yang kejam yang hanya mengumbar hawa nafsu tanpa memikirkan sebuah keseriusan hubungan dan moralitas.
Dalam karya ini pelukis lebih mengkritisi percintaan remaja atau bahkan ini sering pula terjadi dalam percintaan manusia dewasa. Cenderung berkonotasi negative namun sarat akan pesan moral bagi apresiator. Ini interpretasi saya selaku apresiator dan mungkin akan berbeda jika diapresiasi oleh orang lain. Karya lukis memang mampu berbicara melalui symbol-simbol visual namun tafsir merupakan kebebasan dari pengamat atau apresiator.


Garis Cakrawala "Perjalanan Melalui Pancaroba"

Jakarta, 16 Maret 2014 sekelompok pemuda Solo menginjakkan kakinya di ibu kota. Hawa panas dan dehidrasi yang meradang tak menjadi penghalang dalam sebuah pergerakan luar biasa yang menjadi langkah pencapaian mereka. Setiap manusia tentunya memiliki mimpi begitu pula dengan sekelompok pemuda yang menyebut namanya “Garis Cakrawala” ini.
Sebelum berkisah seputar kegitan “Garis Cakrawala” selama di Jakarta, mungkin diantara kita ada yang belum tahu who is “Garis Cakrawala”? Siapa saja yang tergabung di dalamnya? Dan mungkin akan banyak lagi pertanyaan yang bermunculan. Agar tidak bertanya-tanya dikemudian hari dipersilahkan “Garis Cakrawala” untuk memperkenalkan diri.
Siapa “Garis Cakrawala”?
“Garis Cakrawala” merupakan komunitas seni rupa yang tumbuh dan berkembang di kota Solo lebih mengerucut lagi kelompok ini tumbuh dari sebuah kampus mungil yang dulu sempat digunakan sebagai proses perkuliahan jurusan seni rupa murni yang sekarang akrap disapa Kepatihan Artspace. Pertama kali dibentuk pada 16 Juli 2009 oleh sekelompok mahasiswa seni rupa murni dari berbagai angkatan.
Pada awal dibentuknya, komunitas ini menggunakan nama Cakrawala Fine Art Comunity dan anggotanya pun masih berskala kecil. Perubahan nama dari Cakrawala Fine Art Comunity ke “Garis Cakrawala” adalah langkah awal dari komunitas ini untuk memulai pergerakan baru setelah beberapa waktu sempat fakum. Tujuannya sendiri untuk memperkuat identitas, keunikan dan semangat pergerakan dari komunitas.
“Garis Cakrawala” sendiri tidak membatasi siapa saja yang ingin bergabung di dalamnya. Hal ini terlihat dalam beberapa pameran dan kegiatan berkesenian sebelumnya yang juga melibatkan mahasiswa pertukaran pelajar asal Malaysia Arina Kiswanto dalam pameran seni rupa di Galeri Pemuda Surabaya 2013 lalu dan seniman asal Brazil Maximo Elizondo belum lagi mahasiswa di luar seni rupa murni yang turut bergabung dalam komunitas ini. “Garis Cakrawala” pada akhirnya menjadi komunitas yang heterogen. Sekalipun terbentuk dari berbagai karakter dan latar belakang personal yang berbeda-beda, berdirinya sebuah komunitas maupun kelompok tetap didasari pada semangat tujuan yang sama.
Selama masa pertumbuhannya, “Garis Cakrawala” telah banyak melaukan berbagai kegiatan berkesenian baik di kota kelahirannya sendiri maupun di luar kota. Pergerakan mereka tidak memberi sekat pada kesenian di luar seni rupa  walaupun fokus mereka memang lebih ke arah itu. Dalam beberapa kesempatan komunitas ini juga tak segan-segan berkolaborasi dengan kelompok teater, sastra bahkan musik.
Identitas dan karakter. Tentuya setiap kelompok maupun komunitas memiliki karakter pembeda dari komunitas lain. Dilihat dari karya-karya anggota komunitas dan pergerakannya selama ini, “Garis Cakrawala” lebih bersifat pada gerakan komunal dalam seni rupa kontemporer dan moderen. Gerakan tersebut sebenarnya tidak terlepas dari kondisi Solo sendiri. Solo memang kota yang masih kuat mempertahankan kesenian tradisinya. Seni tradisi memperoleh tempat yang lebih dari pada seni kontemporer dan moderen. Kesenian tradisi sekalipun masih didominsi oleh seni pertunjukan. Berangkat dari alsan itulah kounitas ini sekaligus ingin membuka ruang-ruang baru untuk seni kotemporer dan moderen. Gerakan tersebut tidak ada kaitannya dengan perlawanan terhadap seni tradisi, hanya ingin memberi warna baru pada aktifitas kesenian kota Solo. “Walaupun arahya ke kontemporer dan moderen aku ingin semua anggota di sini punya identitas sama karya mereka yaitu identitas lokal. Bukan identitas  yang membuat karya mereka jauh dari  tanah kelahirannya dan menjadi identitas lain di luar mereka” kata Irul Hidayat selaku ketua komunitas selepas ngobrol santai di depan galeri tempat “Garis Cakrawala” menggelar pameran.
Dari Solo ke Jakarta
Sebuah perjuangan yang bisa diteladani. Perjuangan yang entah bermodalkan nekat atau mimpi yang kelewat batas bahkan sudah mulai akut. Yang jelas bukan hal yang mudah bagi sekelompok pemuda ini untuk sampai di Jakarta dengan karya-karyanya dan membawa nama baik kota kelahirannya.
Tentang bagaimana proses “Garis Cakrawala” bisa sampai ke Jakarta tentu menjadi sangat menarik untuk diketahui. Apakah memang hanya bermodal karya dan nekat yang kelewat akut? Bisa jadi begitu, bisa jadi ada komponen lain yang struktural untuk sampai ke Jakarta. Don’t judge book from this cover kutipan ini yang harus diterapkan ketika berbicara tentang “Garis Cakrawala”. Jangan hanya melihat dari tampilannya yang kumal, jangan lihat rambut gondrong kusut yang terlihat jarang disisir, jangan lihat mata merah mereka yang layu, jangan lihat kelakuannya yang selengekan dan jangan-jangan yang lain. Karena dibalik itu semua tersimpan spirit komunal yang mampu mengantarkan mereka pada gerbang kiprah kesenian (seniman). Satu hal penting yang bisa dijadikan renungan. “Kampus tidak akan menjadikanmu seorang seniman atau apa pun, kamu sendirilah yang mampu menjadikan dirimu akan jadi apa kamu” dikutip dari Pak Rudi pria dengan rambut berwarna putih yang suka nongkrong di toko buku Taman Ismail Marzuki.
Lantas bagaimana proses “Garis Cakrawala” sampai bisa pameran di kampung halaman si Pitung? Pergerakan mereka sudah dimulai dari setahun yang lalu. Menyiapkan karya yang akan dipamerkan, menyusun proposal, menghubungi kurator untuk mengkurasi karya-karya yang akan dipamekan sampai nyelengi buat bekal ke Jakarta.
Selain mengajukan proposal agar bisa pameran di Taman Ismail Marzuki,  pameran seni rupa komunitas “Garis Cakrawala” ini juga merupakan hasil kerja sama dengan teman-tema IKJ. Support yang sangat besar dari “Namanya Juga Anak Muda” komunitas mahasiswa IKJ yang sempat berkegiatan di Solo pada liburan tahun baru kemarin.
Pengajuan prosal mereka diterima sekitar enam bulan yang lalu, karena pameran disponsori oleh pihak Taman Ismil Marzuki (TIM), segala keperluan mengenai penyelengaaan pameran sudah menjadi tanggung jawab TIM dari mulai katalog, ketersediaan galeri yang dipakai untuk display karya, konsumsi pembukaan bahkan sampai petugas yang membantu kelancaran pameran.
Melalui “Garis Cakrawala” kita mampu memahami pentingnya sebuah kerja jaringan. Bukan sepintar apa kamu di kampus, bukan seberapa banyak huruf A yang tercantum pada traskip nilai, bukan seberapa banyak bertaya dalam kelas tapi seberapa aktifnya kamu bergerak dan berhubungan dengan sesuatu yang ada di luar kamu. Ada istilah yang cukup bagus “jangan hanya jadi si jago kandang”. Membangun kerja jaringan sebanyak mungkin dan menjadi manusia sosial seperti kodratnya.
Tentang Pameran
Merespon periode transisi kehidupan dari bebagai persoalan dan perubahan di Indonesia dalam tataran sosiap, politik, ekonomi bahkan kebudayaan.(katalog Pancaroba Pancaroba;2014).
Bisa dibilang pameran ini bersiat universal alias tidak ada tema yang mengerucut dan spesifik. Walaupun demikian, mereka memiliki semangat juang yang sama dan berjalan mengerucut menuju satu titik puncak yang sama.
Pancaroba Pancaroba dipilih sebagai tema besar pameran mereka yang digelar di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki. Pancaroba merupakan masa transisi atau peralihan. Peralihan seperti apa yang dimaksud? Peralihan dari anak bau kencur menuju baleq atau bagamana?
 Pancaroba tentu tidak hanya sekedar perubahan dari “Garis Cakrawala” secara personal, namun bagaimana mereka melihat gejala-kejaa disekeliling mereka yang kian hari selalu mengalami perubahan dan transisi. Perubahan dari kondisi lingkungan tempat mereka itu kemudian direspon dalam penciptaan karya seni dengan melalui proses eksplorasi pribadi. Pancaroba juga dimaknai sebagai sebuah proses perenungan “Garis Cakrawala” selama ini. Perenungan terhadap apa yang pernah mereka jalani, pergolakan dari perubahan yang terjadi dalam diri masing-masing anggota maupun “Garis Cakrawala” sendri. Pergolaan yang penuh dengan eksplorasi, kegelisahan, poses kekaryaan bahkan sampai hal yang mendasar yaitu pergolakan bagaimana besok berkarya, yang erat kaitannya dengan ekonomi. Tema besar ini diharapkan mampu mewakili maksud dari komunitas ini berpameran.
Pra Pameran Pancaroba Pancaroba
Dua hari sebelum pameran dimulai, Garis Cakrawala sudah tiba di Jakarta untuk mempesiapkan karya yang akan dipamerkan. Dua hari di Jakarta digunakan sebagai moment silaturahmi dengan teman-teman IKJ sekaligus display karya. Selama proses display karya, mereka ditemani oleh kurator mereka yaitu Hendra Himawan.
Sepintas memperkenalkan bahwa Hendra Himawan yang akrap disapa Hendra ini adalah kurator independent dari Sukoharjo, Solo yang menempuh pendidian S1 dan S2-nya di ISI Yogyakarta. Sebelum memutuskan untuk menjadi kurator independent Hendra sempat menjadi kurator tetap di Sangkring Art Space selama dua tahun dan kurator TMT Street Art Room Yogyakarta. Selain berkarya melalui tulisan-tulisan yang apik, hendra juga aktif dalam kegatan seni, salah satunya adalah sebagai programer WASH (Weekly Art Sharing) Yogyakarta.
Setelah display selesai dilanjutkan dengan mural di lobby galeri. Mural ini digunakan sebagai karya pembuka sebelum pengunjung atau apresiator memasuki ruang pamer. Ketika ditanya mengenai maksud dari mural salah seorang anggota SAYAP (Surakarta Young Artist Project) Rofiq menyatakan bahwa “mural ini menggambarkan sebuah perjalanan yang kami  lalui”. Banyak figur yang berbeda-beda dalam satu kapal yang mengarungi lautan menggambarkan keberagaman komunitas Garis Cakrawala dan SAYAP yang turut serta dalam even ini, meski heterogen mereka bernaung dalam satu tempat yang sama untuk mengarungi dan mencapai tujuan yang sama.
Malam Pembukaan Pameran
18 Maret 2014 tepatnya pukul tujuh lebih tiga puluh, galeri Cipta II TIM sudah ramai didatangi beberapa pengunjung. Ada yang dari kalangan mahasiswa, dosen, seniman bahkan masyarakat umum. Suasana yang agak berbeda dengan Solo. Jika kegiatan kesenian seringnya jeruk nonton jeruk alias teman nonton teman, di Jakarta apresiator yang datang lebih beragam. Mungkin karena lokasi yang strategis juga ikut mempengaruhi. Lokasi TIM yang mudah untuk dijangkau dan akses yang terbilang muda cukup untuk membuat massa berbondong datang ke sana.
Pembukaan pameran makin riuh dengan sorak sorai mahasiswa IKJ , terlebih saat Irul Hidayat memberikan sambutan selaku ketua panitia sekaligus ketua Komunitas. Setelah itu disusul oleh Hendra Himawan yang memberi gambaran mengenai pameran dan karya-karya yang sudah siap untuk diapresiasi.
Ketika pintu galeri terbuka puluhan orang masuk berduyun-duyun memasuki galeri, mengisi buku tamu, mengambil katalog pameran namun sebagian besar tak langsung masuk ke ruang pamer tapi membelok sejenak menikmati beberapa hidangan kecil yang disiapkan. Seperi ritual biasanya, makan dulu baru nonton.
Pembukaan pameran dihadiri lebih dari seratus pengunjung, pengunjung yang datang pun terlihat sangat antusias dalam mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan. Bagaimana antusias apresiator trsebut?apa yang membuat pameran ini menarik? Semua  penilaiaan tersebut dapat dijawab oleh pengunjung sekaligus apresiator karya. Tidak hanya dari kalangan seni rupa saja bahkan masyarakat awam atau yang dari seni pertunjukan pun turut andil dalam mengapresiasi karya-karya komunitas ini.
“Menarik skali pameran ini, karya-karya yang ditampilkan cukup berkarakter semua dan saya paling suka karya itu(sambil menunjuk karya “Ungodless” karya Indra Kamesywara) karena senimannya berani menggunakan warna yang kuat dan itu kesulitan dalam harmoni, namun senimannya mampu mengatasinya” kata pak Busron seniman teater asal Surabaya yang lama menetap di Jakarta ketika menghadiri pembukaan pameran.
Hiruk pikuk para pengunjung sontak membuat seniman yang memiliki hajat sumringah dan puas karena apresiator yang antusias menikmati karya-karya mereka. Bahkan salah seorang apresiator yang kebetulan lewat dan awam dengan dunia seni juga turut menikmati karya-karya yang dipamerkan.
“Karya-karyanya keren, nggak cuma karya moderen aja yang ditampilkan tapi karya yang berbau tradisi juga masih tetep ada. Jadi karya-karyanya komplit lah pameran ini. Kalau ditanya tentang karya saya nggak begitu paham, tapi saya suka” kata Faris salah seorang apresiator yang datang pada pameran Pancaroba Pancaroba.
Pembukaan adalah primadona pameran, bagamana tidak, sebuah keasyikan yang berbeda dan unik. “Baru kali ini datang ke acara pameran dan dihibur gerobak dangdut. Country banget rasanya” kata David salah seorang anggota kelompok SAYAP yang kala itu  sedang ashik berjoged ria. Rasanya memang sangat seuatu sekali kalau kata Syahrini. Sebuah pengalaman yang luar biasa dengan gerobak dangdut dan semangat joged yang merayat.
Pembukaan pameran boleh jadi primadona, tapi bukan berarti hari-hari berikutnya hanya menjadi selir yang jarang dijamah, hari-hari berikutnya pameran tetap ramai dikunjungi walau tanpa musik dangdut. Hampir tujuh puluh orang yang datang tiap harinya setelah pembukaan pameran.
Moment yang berkesan dan membuat anggota Garis Cakrawala dan SAYAP tertawa riang gembira adalah ketika di suatu pagi yang sejuk rombongan malaikat kecil berseragam merah putih berduyun-duyun menyerbu galeri dengan suara riuh yang lucu. Bocah-bocah taman kanak-kanak yang dengan kepolosanya mengapresiasi lukisan kakak-kakak seniman. Ada yang berkata “wah ada pak presiden, tapi kok mukanya biri-biru?”ketia anak-anak sampai pada lukisan Irul Hidayat. Cukup lama anak-anak dan guru yang mendampingi perjalanan tour mereka berdiri di depan lukisan Irul Hidayat. Guru mencoba memperkenalkan presiden republik ini dari mulai Soekarno sampai SBY yang dilukiskan dengan terang oleh Irul.  Beranjak dari lukisan presiden, anak-anak itu berteriak histeris “WAH..LUCU!” ketika sampai pada lukisan Sonny Hendrawan. Terlontar kritik polos yang jujur dari anak-anak itu. Apresiasi yang berbeda dengan orang dewasa tentunya dan cukup menghibur komunitas ini untuk semakin bersemangat menyusun projek selanjutnya.
Sebuah warna baru memang, terutama untuk Solo. Banyak seniman dari Solo, entah dia setia menetap di kota kelahiran maupun keluar dari Solo. Namun dari sekian banyak seniman Solo, tak banyak atau mungkin malah belum ada yang bergerak dengan semangat komunal atau berkomunitas untuk sukses bersama. Melalui pameran ini kita bisa belajar tentang kebersamaan, semangat untuk bewrbagi dan sukses bersama bukan hanya membawa diri sendiri.


Kamis, 30 Januari 2014

Gayengnya Lukisan Bak Truk dan Efek Sampingnya






Foto oleh: M. Syaifudin (Ucil)
Lukisan bak truk tentunya bukan barang asing lagi. Apa lagi bagi masyarakat yang tinggal di kawasan yang sering dilalui oleh truk pengangkut. Sekalipun tidak tinggal di kawasan yang sering melihat sliwar-sliwer truk pengangkut, pastinya sering menjumpai ketika sedang  berkendara atau melintasi kawasan yang sering digunakan sebagai tongkrongan para sopir truk.
Di kawasan Mojosongo tepatnya di sekitar kampus dua ISI Surakarta, dapat dijumpai jejeran truk yang diparkir dan diistirahatkan sejenak oleh pengendaranya. Sejauh mata memandang memang tak banyak bak truk yang dilukis, namun masih dapat dijumpai walau satu dua bak. Mungkin karena kebanyakan truk yang diparkir di sana milik pabrik dan perusahaan besar makanya jarang ada yang dicorat coret. Pemandangan  akan berbeda ketika jalan-jalan ke Jawa Timur, nyaris semua bak truk entah bagian belakang atau samping selalu dihiasi lukisan dengan tulisan yang memberi kesan pada pengendara lain yang melihatnya.
Entah sejak kapan bak truk digunakan sebagai media melukis. Tidak jelas memang jika ditanya tentang asal usul kelahirannya. Tapi lukisan bak truk selalu memberi kesan yang sensasional. Bukan gambarnya, tapi tulisan-tulisan yang melengkapi gambarnya atau justru sebaliknya?
Lukisan dan tulisan pada bak truk itu sendiri dibuat oleh perusahaan variasi dan koroseri. Gambar dan tulisan pada bak truk dewasa ini bahkan sudah banyak yang menggunakan stiker bukan lagi lukis manual. Segala kreasi dan kreatifitas tertuang dalam karya lukis tersebut. Entah inspirasinya dari si pemilik truk, si pengemudi truk atau memang difungsikan untuk menghias truk. Sepertinya truk tak ingin kalah saing dengan super model yang tampil cantik dengan busana di atas cat walk, bak truk pun juga ingin tampil menawan di sepanjang jalan raya yang dilintasinya.
Gambar yang mempercantik bak truk jika dilihat dari kaca mata estetika tentu masih jauh dibanding karya-karya lukis pada kanvas para seniman yang dipamerkan di galeri-galeri atau dimuat dalam katalog. Namun apa tidak ada yang menarik atau yang indah dari lukisan bak truk? Yang membuat indah justru bukan dari gambarnya melainkan pada tulisan-tulisan yang menyertai gambarnya. Ketika membaca tulisan-tulisan itu banyak orang yang tertawa, entah bahagia atau geli yang jelas lukisan bak truk seolah menjadi rambu-rambu alternatif yang gayeng. Istilah gayeng sendiri juga agak ambigu jika dijabarkan, tidak jelas pengertiannya. Anggap saja sesuatu yang seru untuk disaksikan.
Permasalahannya kenapa tulisan-tulisan itu menjadi sesuatu yang gayeng dan seolah memberi kesan yang menghibur serta gampang diingat. Yah, seni jalanan memang dibuat dengan penyampaian yang sederhana dan lugas agar dapat secara langsung dimengerti oleh pengguna jalan. Sepintas lewat sepintas meresap. Meresap dalam ingatan maksutnya. Oleh karena itu tulisan pada bak truk tidak terlalu muluk-muluk dan cenderung menggunakan pemilihan kata yang akrap dengan masyarakat, cara gampangnya bahasa yang mudah dicerna serta bernada lucu.
Kalimat yang sering membekas dan sering muncul pada lukisan bak truk antara lain “ku tunggu jandamu”, sedot WC, rejekiku soko silitmu”, “cintamu tak seberat muatanku”, “pulang dimarahi nggak pulang dicari”, “do’a ibu menyertaimu”, “gadis soleh” dan masih banyak lainnya. Entah kenapa konotasi kalimat-kalimat tersebut beberapa terkesan ngeres, namun justru yang berkesan ngeres itu yang biasanya berkesan bagi pengendara lain yang membacanya. Belum lagi ilustrasi yang menjelaskan kalimat tersebut pun juga kadang digambar agak seronoh. Dan karakter perempuanlah yang sering muncul dalam ilustrasi tersebut.
Kenapa perempuan? Wajar saja, jawabannya adalah karena sopir truknya kebanyakan laki-laki dan sebagian besar yang diilustrasikan dalam lukisan tersebut berangkat dari pengalaman batin sopir dalam hiruk pikuk kehidupannya yang jauh dari keluarga. Sosok perempuan yang dimunculkan bisa saja sebagai pemanis, namun juga sebagai pelepas kerinduan pada istri mereka di rumah. Permasalahannya bukan pada perempuan tapi pada sensasi gayeng yang diberikan oleh tulisan-tulisan pada lukisan bak truk. Apa ya? Sama seperti slogan yang memberi kesan dan pengaruh. Tulisan pada lukisan bak truk yang singkat, padat, dengan bahasa yang merakyat walau terkadang tanpa muatan jadi gampang diingat oleh masyarakat pembacanya. Dan sesuatu yang tanpa muatan itulah terkadang yang menimbulkan sensasi gayeng.
Seolah lukisan yang awalnya dibuat untuk menghias bak truk, malah jadi tontonan pengguna jalan dan gambar yang menjadi point of interest justru dikalahkan oleh tulisan-tulisan yang awalnya bersifat memperjelas. “terkadang yang membuat berkesan justru tulisan bukan gambarnya” kata Ahsin Tohari mahasiswa Seni Rupa Murni ISI Surakarta selaku pengguna jalan yang kerap menjumpai tulisan pada lukisan bak truk.
Ngeres, lucu, gambaran dari kehidupan sang sopir truk atau bahkan sebuah do’a. Lukisan pada bak truk sifatnya hanya untuk menghias dan identitas perusahaan, itu pun jika yang dilukis adalah logo atau slogan perusahaan sebagai iklan berjalan juga bisa. Namun mayoritas lukisan bak truk dibuat untuk mempercantik truk.” Biar nggak bosen mbak, lihat bak truk yang polos” terang pak Aminudin, sopir truk yang ditemui di warung makan dekat parkiran truk daerah Mojosongo.
Apa hanya sekedar gayeng? Siapa yang menganggapnya gayeng? Gayeng tidaknya lukisaan bak truk tergantung dari siapa penikmatnya. Untuk orang yang berselera humor dan easy going tentu tulisan pada lukisan bak truk dianggap untuk seru-seruan. Apa penilaian seseorang sama akan suatu hal? Tentu saja tidak, sama halnya dengan selera masing-masing orang yang juga heterogen.
Melihat kondisi hal tersebut, jelas gambar-gambar pada bak truk beserta tulisannya memang saru dan terlalu fulgar. Serba terlalu lukisan bak truk itu. Kadang terlalu baik seperti tulisan “do’a ibu menyertaimu” dengan gambar perempuan tua berjilbab yang sedang berdo’a, namun juga terkadang sangat fulgar dan bisa dibilang kaya unsur pornografi seperti pada tulisan “ku tunggu jandamu” dengan gambar perempuan sexi berbaju merah yang serba minim dan pose menggoda. Jika bukan pose, tulisan rusuh itu juga kadang bisa mensugesti pikiran ke arah yang tidak baik.
Beberapa kalangan menganggap fenomena ini membawa dampak negatif disamping mampu memberi kegayengan tersendiri. Dampak negatif ini sangat berpengaruh pada anak-anak di bawah umur. Lukisan beserta tulisan tersebut tervisualkan pada bak truk yang bebas melintasi jalan raya. Secara otomatis tidak ada batasan usia bagi yang diperbolehkan untuk melihat maupun tidak. Istilahnya peredaran lukisan seronoh itu tidak melalui sensor sebelum turun ke jalan raya. Al hasil tak sedikit anak-anak yang melihat pemandangan yang tidak sepantasnya untuk dilihat. Secara tidak langsung lukisan bak truk yang bernada ngeres itu pun turut menyumbangknan pendidikan yang tidak baik pada anak-anak yang menyaksikannya. Sama halnya dengan tayangan televisi yang salah sasaran. Tayangan yang harusnya untuk dewasa namun ditayangkan pada jam tonton anak-anak, tentu akan memberi dampak kurang baik pada perkembangan mental dan psikologi anak-anak itu juga. Tapi masalahnya siapa yang memiliki kewenangan untuk mensensor lukisan-lukisan bak truk tersebut? Tentu saja kesadaran tersebut harus muncul dari semua pihak, tidak bisa hanya dari pemilik truk saja.
Di samping dampak negatif dari lukisan bak truk yang cenderung seronoh, beberapa kalangan juga menganggap lukisan pada bak truk mengganggu konsentrasi pengendara lain. Akibatnya di wilayah Solo muncul protes yang cukup besar pada pengadaan lukisan bak truk. Mungkin hal ini pula yang mengakibatkan lukisan pada bak truk sudah jarang bahkan sulit ditemukan. Munculnya protes tersebut dikarenakan sering terjadi kecelakaan lalu lintas akibat pikiran yang teralihkan ketika berkendara. Teralihkannya dikarenakan konsentrasi melihat gambar dan tulisan di depannya (bagian belakang bak truk). Terlalu asyik mengamati lukisan sampai tidak sadar kalau truk berhenti. Menyedihkan jika sebuah karya seni yang dibuat dengan tujuan memberi keindahan pada bak truk justru memakan korban jiwa. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa lukisan tersebut memberikan spirit tersendiri pada sopir truk.
Membawa dampak negatif maupun positif atau memiliki pesan dan maksud tersendiri terhadap masyarakat pengguna jalan yang menyaksikan lukisan bak truk, lukisan ini hanya sepintas lewat dan secepat itu pula pesan itu dilupakan tapi bisa juga membekas ketika lukisan beserta tulisannya benar-benar mampu menarik perhatian pengguna jalan. Meresap tapi tak tahan lama karena sifatnya hanya sebentar namun mampu memberi efek yang tak terduga. Bisa hanya sekedar keseruan belaka atau bahkan sampai berdampak negatif pada anak-anak di bawah usia, bisa juga mensugesti sesuatu yang tidak sewajarnya. Misal saja ketika membaca kalimat “mama papa digoyang” membaca tulisan tersebut jelas mayoritas pengguna jalan akan berasumsi pada hubungan intim karena di sana menyebutkan kata mama dan papa.
 Sama halnya dengan poster atau iklan, menarik perhatian dan bersifat mensugesti. Ketika sudah lewat, ya sudah, ketertarikan itu pun ikut lewat namun belum tentu sugesti itu akan dengan mudah dilupakan. Walau sebentar namun cukup membuat para penikmatnya tersenyum ketika membacanya. Yah, itulah lukisan bak truk, karya seni jalanan, rambu-rambu alternatif yang memberi sensasi gayeng tersendiri dan serentet efek sampingnya.


Senin, 06 Januari 2014

“Seni Rupa Penyadaran”



Diskusi Buku
Penulis: Mulyono
Penerbit: Bentang

Mulyono adalah seorang seniman kelahiran Tulungagung Jawa Timur yang aktif dengan kegiatan keseniannya, di samping itu mulyono juga mencatat setiap pergerakan yang dilaluinya dalam beberapa tulisan yang dikumpulkan dalam buku “ Seni Rupa Penyadaran” yang diterbitkan oleh Bentang Publisher.
Tulisan dalam buku ini secara garis besar memuat cita-cita seni lukis untuk rakyat atau dalam istilah barunya demokratisasi seni. Memposisikan rakyat sebagai pelaku atau subyek bukan lagi sebagai obyek seni dan korban kebudayaan yang pasif. Persoalan seperti ini sudah muncul sejak generasi pertama seni rupa modern tahun tiga puluhan dan nampaknya masih menjadi permasalahan yang renyah sampai saat ini.
Seni rupa adalah seni yang bermanfaat bukan hanya sekedar dinikmati. Seperti yang dilakukan Mulyono di Jawa Timur dalam berbagai aktifitas kesenian yang tidak lepas dari peran masyarakat. Mulyono dalam perannya sebagai seniman bisa dikatakan sedikit berbeda. Ketika beberapa seniman memilih galeri sebagai ruang presentasi ideologinya, Mulyono lebih memilih keluar dari zona seni tinggi (fine art). Mencoba mengajak masyarakat untuk turut berkesenian dan bukan hanya menjadi obyek seninya. Oleh karena itu yang dilakukannya adalah terjun langsung ke kalangan rakyat bawah, mengajarkan bagaimana berkesenian dan salah satunya diwujukan dengan membentuk komunitas KUD (Kesenian Unit Desa).
Sering kali dijumpai dalam beberapa pameran seni rupa yang mengangkat tema-tema sosial rakyat kalangan bawah entah dalam karya patung, grafis maupun lukis. Karya-karya tersebut menggambarkan kesengsaraan dan penderitaan. Kesengsaraan yang tersaji tersebut kemudian di pamerkan dalam sebuah ruang pamer yang disebut galeri. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah kesengsaraan rakyat bawah tersebut terpresentasikan dalam ruang pamer? Adakah manfaat bagi obyek (rakyat bawah) yang diangkat dalam karya-karya tersebut? hal ini juga dibahas dalam tulisan Mulyono.
Pematangan pemahaman dalam sebuah penciptaan karya yang kerap menjadi pemasalahan, sehingga tidak jarang muncul karya-karya pengulangan. Karya pengulangan adalah karya yang mengusung satu konsep yang sama namun ditampilkan dengan visual yang berbeda. Sebagai contoh karya seniman Dede Eri Supria yang berjudul Tiga Sosok yang dibuat berseri.  Dalam prosesnya Dede mengambil beberapa potret kemudian mengkomposisikannya dalam bidang kanvas. Jika Dede ingin ada kekontrasan dia memberi kekontrasan warna dan sedikit membuat perubahan. Alhasil adalah pesona realitas, menampilkan obyek-obyek yang nyata ada namun sebenarnya tidak ada. Sesuatu yang seakan terjadi sehari-hari, namun ternyata bukan aktivitas keseharian.
Dari ulasan Mulyono tersebut memberikan pengertian bahwa dalam penciptaan karya seni bukan hanya estetika saja yang diutamakan namun kontruksi yang membangun karya tersebut. seni konseptual, bagaimana bisa melukiskan kesengsaraan rakyat bawah jika tidak terjun langsun di dalamnya? Pengertian terjun langsung di sini bukan berarti harus membaur dengan mereka, banyak alternatif yang bisa dilakukan seperti sharing, diskusi atau riset buku maupun media. Mengutip kalimat Mulyono dalam slah satu tulisannya “ pelukis adalah atena sosial, saya harap tidak hanya menjadi atena transistor satu band tetapi menjadi parabola”. Jika demikian, setiap persoalan yang diangkat akan terpahami dengan baik dan terhindar dari karya repetitif yang memiskinkan hakikat nilai seni itu sendiri.
Seni rupa penyadaran berdasarkan istilah “penyadaran” menurut pengertian Paulo Freire yaitu belajar memahami kontradiksi sosial, politik dan ekonomi serta mengambil tindakan atas unsur-unsur yang menindas realitas tersebut. Seni rupa penyadaran memposisikan masyarakat sebagai subyek bukan obyek seni rupa, tidak hanya dipandang sebagai kerja sosial namun lebih pada penghidupan hak dan ekspresi kreatif  dalam kehidupan.
Seni untuk masyarakat yang dimaksud oleh Mulyono adalah seni yang memberi kontribusi untuk masyarakat (fungsinal). Oleh karena itu dalam kumpulan tulisan Mulyono banyak membahas tentang seni instalasi. Seni instalasi muncul sejak masa Dadaisme yang merupakan perlawanan dari seni tinggi atau hight art. Karya seni yang dinikmati oleh kalangan elit. Pada masa itu muncullah karya-karya yang bisa dibilang jauh dari ranah keindahan.
 Salah satu contoh yang diambil adalah karya seniman performance asal California Suzane dengan karya instalasinya yang berjudul No Blood/No Foul yang mengangkat konflik antara polisi dan warga kulit  hitam Amerika. Instalasi terseut menggunakan lapangan basket sebagai ruang berdialog tentang solusi dari konflik tersebut. Karya instalasi Suzane tersebut dipamerkan dalam Atopic Site di Tokyo Watefront Area Tokyo International Exhibission Centre West 3, 1-25 Agustus 1996.  Acara tersebut dimulai dengan salah satu crew Suzane yang melempat bola basket ke dalam ring yang terdiri dari tiga orang kulit hitam. Mulai saat itulah lapangan basket bisa digunakan oleh siapa saja untuk srana berdialog, berkumpul dan bermain. Proses berdialog dalam karya Suzane adalah proses berdialog, proses menemukan makna dan membuka kesadaran. Instalasi tersebut membuka keleluasaan bagi penikmat yang datang untuk bersinggungan langsung dengan karya instalasinya.Sepintas ulasan karya Suzane memberikan gambaran dari pengertian seni rupa penyadaran yang Mulyono maksudkan. Seni yang memberikan dampak pada masyarakat secara langsung.(fajar hidayah)
Uraian di atas merupakan rangkuman dari hasil diskusi yang dilakukan pada Sabtu, 4 Januari 2014 di ruang multimedia gedung seni rupa murni. Selanjutnya diskusi akan dilaksanakan pada 18 Januari 2014 pukul 15.00 di ruang multimedia gedung seni rupa murni. Pada kesempatan selanjutnya forum akan membedah buku “Modern Miring” yang kumpulan tulisan.
Bagi teman-teman yang berminat, untuk penggandaan buku silahkan menghubungi Ari Wuryanto atau Fajar Nurul Hidayah.
Cp: 085649731129